Suara keras itu mengagetkan tidur semuanya. Berebutan lari ke luar huma. Langit memerah. Dua ratus meter dari huma, api berkobar hebat. Melingkupi sesuatu di atas sawah yang baru saja mereka tanami. Mereka berlari lintang pukang mendekati pusat api. Dada Somat berdegup kencang. Entah mengapa, malam ini serasa pernah dialaminya.
Tak lama berlari, di pematang ada seonggok tubuh manusia. Sudah tidak utuh lagi. Semakin mendekat, semakin banyak tubuh manusia. Ada juga yang masih utuh. Seperti pasukan penyelamat terlatih, Somat dan kawan-kawannya segera berpencar. Memeriksa satu demi satu tubuh-tubuh yang tersebar. Dari arah selatan, terlihat Simin dengan beberapa orang kawannya, juga telah datang. Dua kawanan petani penggarap itu tahu persis lekak lekuk sawah Haji Umar yang baru saja mereka tanami. Makanya, tidak ada satupun tubuh manusia yang terlewatkan oleh mereka.
Api masih berkobar hebat, utamanya di patahan tengah. Pesawat naas itu cukup besar. Waktu jatuh, tubuhnya patah tiga bagian. Sementara kedua sayap, tempat tangki bahan bakar, juga patah. Semuanya tersebar di hamparan sawah.
Setengah jam kemudian, Somat sudah tiba di bagian belakang pesawat. Dilihatnya seorang pramugara sedang memapah seorang ibu hamil. Cepat-cepat dibantunya. Setelah membawanya ke pematang, Somat kembali mencari orang yang bisa ditolong. Degupan jantungnya masih sangat kencang. Sembari tangan kekarnya memanggul tubuh demi tubuh, memori otaknya bekerja ekstra keras pula. Dirasakannya kejadian ini bukan pertama kali baginya. Ada penggalan memori tentang guncangan hebat, sawah hijau memerah karena darah, potongan-potongan tubuh, bahkan sayap yang patah dan terbakar. Diingatnya dirinya keluar dari pesawat dengan menangis meraung-raung. Entah karena sakit atau apa. Ketika kenangan itu hendak menjelas, pundaknya ditepuk Simin dari belakang.
“Mat, sampeyan sudah selesai nyisir bagian belakang?” Somat menggeleng. Sedetik kemudian, mereka sibuk kembali. Satu demi satu orang yang selamat ataupun tidak, mereka angkut ke pematang. Tak terasa, hari menjelang subuh. Ratusan tubuh, bernyawa ataupun tidak, sudah mereka evakuasi dari bangkai pesawat. Api sudah hampir padam. Petugas-petugas kesehatan sudah mulai mengangkut korban. Somat masih terus membantu. Mengangkuti korban dari pematang ke samping jalanan, tempat ambulans dan truk dari perusahaan batu bata Haji Hidir parkir menunggu, untuk membawa mereka ke puskesmas.
Tak lama, dari arah timur, suara azan terdengar. Somat menyeka peluhnya. Dilihatnya tangannya yang berlumurah darah dan lumpur. Memori itu kembali lagi. Diingatnya, kala itu tangannya juga penuh lumpur dan darah. Entah darah dari mana. Yang jelas, dia hanya bisa menangis dan menangis. Tak dirasakannya sakit apapun. Hanya bingung. Lalu menangis.
“Mat, shalat dulu”. Somat kembali tersadar. Memori itu hilang lagi.
Setengah enam pagi. Langit mulai terang. Samar-samar bangkai pesawat mulai tampak memutih di tengah hamparan sawah. Korban yang selamat tinggal beberapa orang saja yang belum terangkut. Namun semuanya sudah ada di pinggir jalan. Di pematang, tinggal tubuh-tubuh tak bernyawa. Puluhan jumlahnya. Somat hanya bisa memandang miris. Rasa capek mulai menggelayut. Dipijitnya pelan bahu kanannya. Somat meringis. Memori itu kembali lagi. Diingatnya, kala itu bajunya robek. Dari bahu itu keluar darah. Kental. Tapi bukan rasa sakit yang membuatnya menangis. Tapi sedih yang dalam. Seperti tak ada lagi yang tersisa. Seperti dirinya ditinggalkan semua orang. Memori itu menjelas lagi. Diingatnya pula warna baju dan celana pendeknya. Terus mainan superman dan batman dalam tas jinjingnya. Terus topi pandan yang dibelikan ibu sewaktu di bandara. Ibu? Somat meradang. Matanya sembab. Diingatnya wajah ibunya. Cantik dan ayu. Diingatnya dekapan ibunya tatkala pesawat mulai berguncang keras. Rasa takut menggelayut berat. Somat melemas. Jatuh berlutut di pinggir jalan. Memori itu jelas sekarang. Antara senang dan sedih mengenang ibunya, Somat menangis.
Berhari-hari Somat merenung. Semua memorinya telah jelas. Dua windu lalu, tatkala berusia empat atau lima tahun, pesawat Somat dan ibunya jatuh di sawah dekat bukit. Ibunya tewas, sementara Somat ditolong Mak Lijah. Selama bertahun-tahun Mak Lijah mengasuhnya, menyekolahkannya sampai tamat SMA. Namun apa mau dikata, Somat harus kembali ke sawah, lantaran tidak ada biaya lagi. Dua tahun lalu, Mak Lijah meninggal dunia. Perempuan tua itu memang tidak pernah menikah, membuat Somat mewarisi semua hartanya. Rumah beserta isinya dan sepetak kecil kebun di lereng bukit. Olehnya, Somat merasa cukup bahagia. Namun beberapa hari belakangan ini, Somat mulai berpikir akan egoistisnya Mak Lijah. Kalau memang hanya ibunya yang tewas, bagaimana dengan ayahnya? Jangan-jangan pesawat itu sementara menuju ke kota tempat di mana ayahnya menunggu dia dan ibunya. Rasa sayangnya ke Mak Lijah, turun. Sampai-sampai semua foto-foto Mak Lijah, yang dulunya terkenal sebagai dukun beranak jempolan, disimpannya dalam koper di bawah ranjang. Tak sudi dilihatnya lagi. Rasa benci yang sedari dulu tak pernah ada, mulai muncul di sudut kalbunya.
Siang sudah hampir habis, tatkala bangkai terakhir pesawat naas itu, diangkat ke pinggir jalan. Kemudian diderek naik ke atas truk, lalu dibawa ke kota. Somat juga ada di situ. Haji Umar juga. Oleh perusahaan penerbangan pesawat itu, dia diberi ganti rugi cukup besar. Sangat cukup, sampai-sampai melampaui lima kali hasil panen. Namun orang perusahaan itu berpesan, kalau ada barang penumpang pesawat yang didapat, segera menghubungi dia.
Sesaat setelah truk itu menghilang di tikungan, orang-orang mulai bubar. Sesaat sebelum pergi, ujung mata Somat melihat sesuatu di dekat pematang. Diraihnya pelan. Sebuah tas kecil. Somat melihat sekeliling. Takut ada yang melihat. Tapi orang-orang sudah tidak ada. Merasa aman, Somat berlari ke huma. Dalam huma, dibukanya tas itu. Ada pulpen, buku kecil yang penuh dengan catatan, dua ikat uang, beberapa kartu bank, kartu nama dan foto-foto berukuran kartu. Rasa senang mendekati serakah mulai menyentuh ubun-ubunnya. Apa lagi tatkala sadar kalau uang itu cukup untuknya membuka usaha bengkel motor. Namun hanya sebentar. Mak Lijah memang pengasuh yang sangat baik. Jiwa-jiwa kejujuran tidak pernah lepas dari ajarannya ke Somat. Perlahan dimasukkannya semua barang itu kembali. Barang ini harus kukembalikan ke pemiliknya, tegas Somat dalam hati.
Esoknya, dengan bekal seadanya, Somat berangkat ke kota, setelah semalam Haji Umar memberinya alamat perusahaan penerbangan itu. Dalam tidurnya di perjalanan, Somat bermimpi. Bayangan bangkai pesawat yang membawa dirinya dan ibunya muncul kembali. Tiba-tiba ibunya muncul di antara puing-puing pesawat, kemudian meneriakkan “Cari ayahmu .... cari ayahmu ....”.
Menjelang siang, Somat tiba di depan kantor itu. Ditanyanya pada satpam, untuk bertemu dengan kepala kantor. Namun belum sampai masuk, orang yang dikenalnya sebagai wakil perusahaan, yang memberi Haji Umar uang, muncul dari pintu depan. Somat tersenyum sopan sambil mendekat.
“Maaf pak, saya Somat. Pekerja Haji Umar, saya ...”
“Oh maaf. Saya sudah memberi dia uang cukup banyak. Kalau tidak cukup, itu bukan salah saya”
“Bukan pak, saya bukan mau minta uang. Saya menemukan sesuatu pak”
“Menemukan apa? Perhiasan, uang, tas atau apa? Kalau seandainya kau dapat, akan susah bagi kami untuk mengembalikannya. Pesawat itu datang dari jauh. Mau ke tempat jauh pula. Beruntung kalo si empunya hidup. Kalo mati? Ah, sudahlah. Kalau kau benar menemukan sesuatu, simpan sajalah. Toh orang-orang dari pesawat itu, hampir semuanya meninggal. Yang kau dan teman-temanmu tolong, kebanyakan mati dalam perjalanan ke rumah sakit rujukan”.
Somat terdiam. Tak disangkanya orang itu akan berkata demikian. Somat tertunduk. Satpam jatuh iba melihatnya, disarankannya Somat untuk kembali melihat isi tas itu. Siapa tahu ada kartu nama? Kalau dekat kan bisa diantar? Somat tersenyum. Harapannya kembali membesar. Bersama-sama Satpam, ditelitinya alamat-alamat di kartu-kartu itu. Dua jenak kemudian, Satpam menemukan satu kartu dengan alamat yang ada di kota. Dijelaskannya pada Somat cara untuk sampai ke alamat tersebut. Somat tersenyum mengerti.
Sudah menjelang ashar tatkala Somat tiba di alamat itu. Rumahnya cukup besar dan mentereng. Somat berkali-kali berdecak kagum. Namun sejurus kemudian dia dikagetkan oleh bentakan Satpam. Somat dengan pelan menjelaskan maksudnya. Satpam itu melunak. Pintu gerbang terbuka. Somat masuk lalu dipersilahkan menunggu di teras. Selama menunggu, memori itu muncul lagi. Somat tertunduk. Kalau memang hanya tinggal aku, biarlah. Yang penting, aku masih bisa membantu orang ini, batin Somat.
“Maaf. Anda ingin bertemu saya?”
Di depan Somat berdiri seorang laki-laki, limapuluhan umurnya. Tegap, berkumis rapi. Pakaiannya pun rapi. Sepertinya baru pulang kantor.
“Iya pak. Saya Somat. Beberapa hari lalu di kampung saya, jatuh pesawat. Saya dengan teman-teman ikut menolong. Walau demikian, banyak yang kami tolong itu, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Akhirnya hanya sedikit yang hidup. Trus kemarin, saya menemukan tas ini pak. Saya agak sangsi kalau tas ini punya Bapak. Tapi saya temukan kartu nama Bapak di dalamnya. Olehnya, mungkin Bapak bisa membantu untuk mengembalikan ke pemiliknya. Kalaupun si empunya juga ikut tewas, paling tidak keluarganya bisa menerima tas ini”.
Bapak itu menyernyitkan dahi. Diraih dan dibukanya tas itu. Dilihatnya lekat-lekat foto-foto yang ada. Dia mengangguk tanda mengerti.
“Benar de’. Yang punya tas ini, saya kenal. Dia memang ikut tewas dalam kecelakaan itu. Insya Allah, akan saya sampaikan tas ini pada keluarganya”
“Alhamdulillah. Syukurlah kalau Bapak bisa. Tidak sia-sia saya dari kampung. Akhirnya harapan saya untuk mengembalikan tas ini bisa terwujud. Matursuhun pak. Tapi maaf pak, sekarang sudah hampir ashar, bisa saya numpang shalat dhuhur sebelum pulang?”
Sang Bapak tersenyum. Tanpa suara disilahkannya Somat masuk ke ruang tamu. Somat kembali berdecak kagum. Aroma mewah dan anggun merayap di kulit Somat. Namun Somat sontak, tatkala menatap lukisan raksasa seorang wanita yang tergantung di dinding.
“Ibu ....”. Somat pingsan.
No comments:
Post a Comment