Rumah pak Junaid cukup besar. Bertingkat dua dengan garasi besar di samping kanannya. Memang sih, dia tidak punya mobil, cuma motor Vespa keluaran 80-an. Tapi kalau ditanya, dia pasti bilang, “Ah ... kan bisa saja besok-besok dapat mobil beneran”. Depan rumahnya, masih dalam lingkungan pagarnya, ada pohon mangga harum manis yang cukup rindang. Kalau lagi musim mangga, bisa banyak sekali. Mana harum lagi. Alhasil, setiap musim mangga tiba, atap sengnya sering kali bocor kena lempar anak-anak kampung yang mencoba peruntungan dapat mangga gratis.
Selain karena besar dan pohon mangga harum manisnya, rumah pak Junaid juga terkenal karena seringnya anak-anak muda kampung berkumpul di sana. Yah untuk Karang Taruna-lah, untuk pementasan seni-lah, bahkan hanya sekedar kongkow-kongkow. Tapi pada dasarnya, mereka sering ke sana hanya untuk melihat langsung Yuyun, anak gadis pak Junaid. Kata mereka, kalau dibandingkan dengan Inneke Koesherawaty atau Tamara Blezinsky, Yuyun masih bisa sekelas dengan mereka. Baik soal kecantikan maupun kecerdasan. Menurut isunya, kecantikan dan kecerdasan Yuyun turun dari ibunya. Tapi orang sekampung tidak pernah bisa membuktikan itu karena dulu sewaktu pak Junaid datang, beliau memang tidak membawa istrinya. Sebagian besar orang berkesimpulan kalau istrinya meninggal sewaktu melahirkan Yuyun atau pada saat Yuyun masih kecil. Itu juga didukung fakta kalau muka pak Junaid tidak mirip dengan Yuyun.
Empat malam lalu, terjadi keributan di rumah pak Junaid. Suara pintu dibanting berkali-kali dengan keras, terdengar sampai ke rumahku. Suara Yuyun marah-marah sampai memaki-maki bapaknya juga terdengar. Sepintas terdengar Yuyun marah soal perempuan yang didekati pak Junaid. Ooo, pantas saja. Yuyun belum sudi ada perempuan yang menggantikan peran ibunya. Biasalah, memang banyak anak perempuan yang bertindak seperti itu.
Tapi tadi pagi aku tersentak kaget. Yuyun lewat di depan rumah. Menenteng koper besar. Bersungut-sungut tidak karuan. Heran juga aku melihatnya. Sementara pak Junaid, tertunduk lesu di depan rumah besarnya. Yah, bakal ada gosip baru nih nantinya, pikirku. Pastilah anak-anak kampung bakal jarang ke sana lagi.
Sekitar sepuluh menit lalu, terdengar keramaian di depan rumah. Ternyata sekumpulan anak-anak muda sementara berkumpul di depan rumah. “Pak, emang Yuyun sudah punya suami ya?”, tanya Ridwan, pentolan anak-anak kampung. “Ah, gak tuh. Pan selama dia pindah ke sini dengan bokapnya, enam tahun lalu, belum pernah ada acara rame-rame di sini. Kenapa emang kepikiran begitu?”, tanyaku. “Gak pak. Tadi pagi, kata orang-orang, Yuyun tinggalkan rumah. Lha mo kemana dia? Pan kata pak Junaid, keluarganya sudah gak ada semua. Makanya aku kepikiran, jangan-jangan Yuyun sudah menikah, trus dia ke rumah suaminya!”, sanggahnya lagi. Aduh, jangan-jangan emang begitu ya, pikirku. “Supaya gak panjang ceritanya, kita tanya aja langsung ke pak Junaid”, kataku sambil bergerak menuju ke rumah pak Junaid. Belum tiba tepat di depan pagar, terdengar suara, “Nah kan, emang dia itu tidak tahu diri mas. Makanya mending aku dari pada dia”. Lha itu kan si Mimin, janda muda kampung seberang kali. Heranku memuncak. Tatkala tiba, Mimin baru saja meninggalkan rumah. Saat sudah berhadapan langsung dengan pak Junaid, aku bertanya tanpa basa basi lagi, “Pak, ini anak-anak tanya, Yuyun kemana? Kata orang-orang kampung, dia tinggalkan rumah ini tadi pagi. Aku juga sempat ngeliat sendiri kok? Emang ada pertengkaran apa? Sapa tau saja, kita-kita bisa bantu. Pan gak enak. Waktu kami-kami ada masalah, pak Junaid dengan senang hati menolong kami. Terutama anak-anak ini lho pak. Mereka menyayangkan sekali kalo Yuyun dan Bapak sempat bertengkar. Mereka pikir, kalo Bapak dengan Yuyun gak akuran, pan mereka jadi tidak enak juga main ke sini. Hilang deh mereka punya tempat nongkrong”, cerocosku. Pak Junaid menghela napas panjang. Muka keriput 70-an tahunnya terlihat lebih jelas. Berkali-kali napas panjangnya terhela. Akhirnya setelah sekian lama duduk tepekur, dia menjawab, “Sebenarnya Yuyun tidak senang Mimin sering jalan-jalan kemari. Dia juga tidak senang tatkala aku bilang kalo aku pengen nikah lagi dengan Mimin. Terus empat hari lalu, dia sampe banting-banting pintu keras-keras, bahkan memaki-maki aku. Mumet aku”. Terlihat jelas keresahan di matanya. Aku pun ikut-ikutan menghela napas panjang. Anak perempuan memang paling jarang bisa menerima kalau bapaknya kawin lagi.
“Tapi sebenarnya dia tahu, kalo aku penganut poligami. Sudah saya ceritakan dan rundingkan kalo aku kemungkinan mau beristri lagi setelah menikah dengan dia enam tahun lalu”.
Lho? Jadi? Yuyun? Alamak ........
No comments:
Post a Comment