Friday, December 21, 2007

Janji

Entah telah berapa lama Bandi menunggu. Dilirik arlojinya. Masih setengah jam. Masih cukup waktu untuk Double Cheese Burger-nya McDonald, semangkuk sup jagung dan sebotol air mineral. Hmm, walau telah sewindu South Carolina ditinggalkannya, kebiasaan makan junk food masih mendominasi hari-hari sibuknya. Terlebih tatkala puncak-puncak stresnya menghentak-hentak lantai dan plafon kesadarannya. Seperti sekarang, tatkala Amy akan datang berkunjung. Coklat rambut dan retinanya selalu membuatnya tegang. Bau harum tubuhnya apalagi. Bandi menghayal, lagi.

Semua pesanannya sudah habis terlahap. Sudah lewat setengah jam pula. Mana lagi pesawatnya sudah offload. Semua penumpang sudah turun. Semua koper dan bawaan di bagasi sudah diambil pemiliknya. Tapi tak ada coklat rambut dan retina Amy yang menggetarkan jantung Bandi. Tak ada bau harum tubuhnya. Hanya ada bau keringat portir-portir yang kelelahan. Bandi tersadar. Amy tidak datang. Bagaimana mungkin? Dia kan sudah janji akan datang! Mana mungkin dia lupa memberitahuku? Dia kan mantan pacarku! Mantan? Jangan-jangan ....

Sebenarnya Bandi sadar, kalau janji Amy akan datang berkunjung ke Indonesia, hanyalah isapan jempol. Dia pun tahu kalau Amy pada dasarnya mau jalan dan diperkenalkan sebagai pacarnya, hanya karena keenceran otak Bandi melahap hampir semua soal-soal kimia dan biologi. Tapi dasar Bandi, sangat percaya pada omongan bule brunnette asal Oklahoma itu. Walau sewindu dan telah bergelar MD dari USC, kepercayaan itu masih saja menempati ruang terbaik dalam bagian otak ingatnya. Sampai-sampai sedemikian banyaknya perempuan Indonesia yang kebetulan juga sementara belajar di Amerika Serikat kala itu, kecewa karenanya. Utamanya Dina, yang pada waktu hampir bersamaan juga sementara menunggu kedatangan Bandi di Newark. Seperti juga Bandi yang tergila-gila akan coklat rambut dan retina serta bau tubuh Amy; Dina juga masih terpesona akan segala tutur jelas Bandi tatkala menerangkan hubungan eksponensial susunan struktur kimia dari sebuah enzim yang dapat mengganggu metabolisme tubuh di kelas biokimia USC, walau sudah sewindu berlalu. Namun sejak pagi sampai malam, satu persatu pesawat yang berkoneksi dengan Asia Tenggara, utamanya Indonesia, tidak membawa Bandi. Dina tepekur. Diingatnya janji Bandi, untuk datang pada hari yang sama, delapan tahun ke depan. Bandi .... Bandi ...... mengapa kau berdusta? batin Dina mengawang plafon ruang tunggu bandara. Dia mendesah panjang, persis seperti desahan Bandi tatkala berjalan meninggalkan ruang tunggu kedatangan di Cengkareng. Sedemikian anehnya, Sang Maha Kuasa, merencanakan kehidupan hamba-Nya.

*****

Ahad pagi itu, Bandi bergegas ke rumah orang tuanya. Masih sepi. Bandi langsung naik ke lantai 2, ke kamarnya. Kamar itu sudah sedemikian lama tidak ditinggali, sejak kepulangannya dari South Carolina. Perlahan ditariknya album foto berdebu dari dalam lemari buku. Dibukanya perlahan-lahan. Satu demi satu foto berukuran jumbo ditatapnya. Peristiwa demi peristiwa melintasi benaknya. Namun yang membekas keras hanya Amy. Rambutnya, retinanya, baunya. Semua seperti baru terjadi kemarin. Namun Bandi kembali sadar, sewindu bukanlah waktu yang sebentar. Dia tidak boleh hanya larut dengan cerita masa lalu itu. Mana lagi, cinta dan rasa sayang itu hanya datang dari mata dan hatinya; bukan dan tidak pernah datang dari mata dan hati Amy. Adalah sebuah kebodohan semata-mata jika dia masih mengharapkan Amy memenuhi janjinya. Benar-benar sebuah kebodohan semata-mata. Bandi kembali mendesah. Saat yang sama, empat hari menjelang tahun baru, di salah satu sudut East Manhattan, dengan siluet Brooklyn Bridge senja hari, Dina juga tengah membatin. Berusaha menghilangkan asa akan Bandi. Laki-laki yang selalu membuatnya menganga, mendengar keluh kesahnya akan segala tetek bengek premedical class bahkan membelikannya nasi goreng cina berlabel halal usai pertemuan PPI Amerika yang sangat membosankan.

*****

Bandi baru saja menyuntik anti tetanus seorang bapak yang harus kehilangan empat jarinya karena berusaha meraih anaknya yang hanyut dibawa air laut yang menderas tiba-tiba, sesaat setelah gempa menggoyang pusat kota Banda Aceh. Bandi berdiri tepekur memandang bapak itu keluar tenda. Walau sudah lebih sepuluh hari, masih saja terdengar ada mayat yang ditemukan mengapung di Krueng Aceh, membusuk di antara reruntuhan bangunan bahkan menggembung di ladang-ladang yang cukup tinggi letaknya. Atau paling tidak, seperti bapak tadi. Ya Allah, betapa berdosanya aku pada-Mu; yang tidak pernah mensyukuri nikmat-Mu, batin Bandi.

Sekonyong-konyong, masuk seorang relawan.

“Apa dokter masih kekurangan desinfektan? Atau bahan-bahan medis lainnya? Ada tim medis independen yang baru saja tiba. Mereka membawa banyak perbekalan. Saya diminta untuk menginventarisir apa-apa yang diperlukan di tenda-tenda medis di sepanjang kamp”.

“Dari mana?”

“Kata orang-orang, dari Amerika. Tapi ada orang Indonesianya. Dokter lagi. Kok bisa ya?”

Bandi mematung. Memang banyak orang Indonesia yang kerja sebagai perawat di States, tapi dokter? Kalaupun ada, dia pasti mengenalnya. Ah, biarlah. Semua tim medis yang datang pastilah berkonsentrasi untuk menjalankan tugasnya, bukan untuk bernostalgia gembira ria, atau dengan alasan apapun. Bandi tersenyum menggeleng.

“Persediaan kami masih banyak. Coba tanyakan ke tenda yang lain saja, ya?”

*****

Hari ke 59. Semua orang sudah lelah. Tenda-tenda mulai kehilangan pekerja-pekerjanya. Tim-tim dari luar negeri juga sudah banyak yang pulang. Dua bulan pasca tsunami, sudah cukup memberi ketidaknyamanan bagi orang-orang yang tidak berniat tulus. Tapi Bandi masih di tendanya, walau kehilangan hampir seluruh perawatnya.

Senja itu, Bandi baru saja akan menyalakan lampu, kala seorang relawan datang memberinya undangan. Semacam kenduri, untuk seluruh tim relawan yang telah bekerja tanpa henti. Dalam hati, Bandi sempat menolak. Namun jenuh dan lelah, lebih menguasai fisiknya.

Ruang pertemuan itu masih lengang, walau sudah pukul 2030 WIB. Bandi dan beberapa relawan masih asyik bercengkerama di dekat tangga, kala satu rombongan baru tiba. Seperti sedari tadi, setiap tim yang baru masuk akan ditepuk tangani sebagai penghormatan akan dedikasinya. Rombongan yang terakhir masuk sepertinya dari luar Indonesia, karena hampir seluruh anggotanya, bule. Bandi sempat menoleh sejenak.

“Dok, itu lho yang dulu saya cerita. Orang Indonesia yang jadi dokter di Amerika”

Bandi kembali menoleh, kali ini dengan seluruh badan. Dipandanginya sosok itu. Keningnya berkerut. Bandi berdiri, berjalan perlahan menuju perempuan yang ditunjuk Nadir tadi. Sembari berjalan, kenangan melintas pelan.

“Dina”

Yang dipanggil berbalik, tersenyum. Kecut.

“Bandi. Dokter Bandi”

Bandi membalas dengan senyum. “Aku tidak tahu, kalau kau yang ...”

“Ah, tak mengapa. Kita semua sibuk kan? Mana ada yang peduli dengan kenangan masa lampau, tatkala begitu banyak kerja yang menunggu. Orang-orang ini lebih membutuhkan kita untuk membantu mereka”

Bandi kembali tersenyum.

“Sebenarnya, aku sudah sejak lama tahu akan kau dan timmu. Tapi sepertinya kau begitu sibuk, sampai tidak tahu kalau kadang kita makan di satu ruangan. Ah, Bandi. Kau tidak berubah, masih selalu fokus dengan kerjaan. Sampai lupa akan sekelilingmu. As always, ignorant in any ways

Suasana malam yang dingin, seakan siang yang panas. Kerut di kening Bandi belum juga hilang, namun senyumnya tetap mengembang.

“Maafkan, maafkan kalau aku tidak memperhatikan sekelilingku. Semua ini butuh konsentrasi yang tinggi dan terpusat. I can’t jeopardize anything for this; it’s all my dedication to mankind. I think you know that”.

“Bandi, kau benar-benar tidak berubah. Lihat dirimu sekarang. Dulu kau juga tidak memperhatikan sekelilingmu, lingkunganmu. Teman-temanmu, Ted, John, Willie bahkan aku. Ah Bandi, kapan kau mau berubah?”

Mata Dina mulai memerah menahan tangis. Naluri keperempuanannya bicara. Bandi tertunduk. Terbayang kelompok belajar yang dipimpinnya dulu, ada Ted, John, Willie, Dina dan dirinya sendiri. Mereka memang begitu kompak, namun Bandi tahu kalau dia hanya mengganggap kelompoknya sebagai kelompok belajar, bukan sebagai buddies. Walau demikian, diakuinya getar asmara memang pernah ada di antara Dina dan dirinya. Namun Bandi adalah Bandi, yang tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu, terkecuali study, study and study. Lived alone on his solitude world. Always alone.

“Aku pernah mau berubah, Din. Kau kenal Amy kan? Dia pernah berjanji akan datang dan .......”

“Dan dia tidak datang kan? Bandi, Bandi ...... Kau kan tahu dia! She’s not our league. She’s way up!”

Bandi semakin tertunduk. Baru kali ini ada orang yang berbicara benar tentang Amy; hal yang benar adanya, namun selalu ditepisnya. Matanya ikut memerah.

“Kau bahkan lupa janjimu padaku Ban”

Tekanan batinnya memuncak. Dina akhirnya berlari ke luar ruangan, meninggalkan Bandi terpaku sendirian.

Astagfirullah ........, batin Bandi. Dirasakannya dadanya memberat. Janji itu memang tak ditepatinya. Janjinya kepada Dina untuk tidak tertipu akan kepalsuan Amy, sesaat sebelum berangkat pulang ke tanah air. Janjinya untuk datang dan merubah dirinya sendirinya. Janjinya untuk mencintainya. Mencintai Dina. Memang kau tidak datang di Newark untuk mengantarku pulang, Dina. Menelpon pun tidak. Memang ada Amy yang mengantarku, walau aku tahu dia hanya lips service saja. Memang ..... memang .... ah Dina, kenapa aku begitu buta, batin Bandi. Ditatapnya Dina yang berlari menuju tendanya. Aku harus menepati janjiku, tegas Bandi sambil berlari menyusul.

Bandara Newark, 29 Desember 2010. Salju turun tidak terlalu lebat. Pesawat GIA baru saja mendarat, straight flight from Jakarta.

“Ayah, Ibu yang jemput kita kan?”

“Iya, Ina rindu ya? Kalau Taufiq?”

Keduanya mengangguk pasti sambil tersenyum girang.

Mereka sampai di ujung terowongan. Terlihat Dina melambai di depan.

“Ban ......”

No comments: