Andani melongok ke dalam dompetnya. Tiga lembar lima puluh ribuan dan selembar duapuluhan. Sudah tanggal limabelas, pertengahan bulan. Ah, kenapa Gayah baru beritahu aku sekarang?, batinnya.
Dibacanya sekali lagi surat istrinya itu. Imah butuh duaratus ribu supaya bisa ujian kenaikan kelas, Dan. Kalau tidak, dia bisa tinggal kelas karena tidak ujian. Begitu tulis Rugayah.
Sekali lagi dilongoknya dompet. Cuman seratus tujuhpuluh. Kalaupun semuanya dikirimnya ke kampung, jumlahnya belum lagi cukup. Ah Gayah, dimana lagi harus kucari tambahan uang?, rintihnya resah. Dihelanya napas panjang. Langit Jakarta di bulan Juli yang penuh asap, ditatapnya nanar. Ingatannya melintas tatkala Imah lahir, walau dengan upah menggergaji kayu di usaha mebel Haji Abdullah yang hanya tiga puluh ribu perbulan, dia mampu membuat kenduri kecil-kecilan di gubuknya. Seekor kambing yang lumayan gemuk menjadi saksinya. Tapi itu sepuluh tahun lalu. Sekarang gajinya sudah lima kali lipat dari yang dulu. Belum lagi kalau lembur sampai jam sepuluhan malam. Rata-rata bisa dapat duaratus limapuluh sebulan. Tapi ini sudah tanggal limabelas. Ah Gayah, kenapa baru beritahu aku sekarang? rintih Andani membatin.
Sebenarnya SPP Imah yang sudah di kelas lima SD, tidak sebanyak itu. Tapi Rugayah tidak pernah mau memberatkan suaminya. Dia tahu, suaminya hanya bergaji sedikit. Makanya tiga tahun lalu, diputuskannya untuk berjualan kue-kue di terminal. Walau tidak banyak, tapi cukuplah meringankan. Tapi sejak terminal itu pindah menjauh, jumlah kue-kue yang laku menurun drastis. Sopir-sopir dan portir-portir yang rajin membeli dagangannya, tidak ada lagi. Pernah dicobanya untuk berjualan depan SD Imah, namun gagal juga. Malah kue-kuenya banyak yang basi, karena sering dijual sampai lebih sehari. Akibatnya Imah, anaknya semata wayang itu, harus menunggak SPP hampir setahun. Kalau seandainya tidak lagi terbayar, entah bagaimana lagi. Tapi kalau sampai tidak terbayar, Gayah yakin Imah bakal jadi seperti dia. Hanya tahu disuruh, tanpa bisa menjadi penyuruh. Mungkin malah hanya akan tahu dua UR, dapur dan kasur. Gayah tak akan pernah mau itu terjadi. Makanya diberanikannya menulis surat itu ke suaminya. Paling tidak, Andani akan mencarikan jalan yang kemungkinan Gayah tidak tahu. Namun sekarang, di halte bus itu, Andani masih duduk lemas sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Belum bisa menemukan jalan itu.
Waktu berlalu. Dhuhur tiba. Andani masih di halte. Duduk berpayung atap-atap bocor, bersama empat orang lainnya. Seorang di antaranya sejak setengah jam lalu, selalu melirik ke Andani. Orangnya sedang-sedang, baik tinggi maupun lebar badannya.
“Hai kawan. Kamu dalam kesulitan ya?”, ujarnya sopan membuka pembicaraan. Andani menoleh, kemudian mengangguk pelan. “Soal uang ya?”, lanjutnya lagi. Andani mengangguk lagi. Kali ini tidak lagi menoleh, malah semakin menunduk. “Aku bisa membantumu kawan. Di ranselku ini, ada uang. Banyak. Banyak sekali. Bisa kamu pakai untuk apa aja. Mobil dan rumahpun bisa kamu beli. Tidak perlu pinjam. Kamu hanya perlu memban ...”. Andani menoleh keras. “Saya memang butuh uang. Tapi saya bukan pengemis. Saya hanya butuh pinjaman. Insya Allah, bulan depan saya lunasi. Bapak cukup berikan alamat, saya akan antarkan pinjaman itu”, kata Andani sungguh-sungguh.
Orang itu tersenyum ramah. Diambilnya tempat di samping Andani. Diraihnya tangan Andani. “Namaku Irwan, kawan. Kamu?”, tanyanya. Andani tersenyum menimpali sambil menjabat tangan yang tersodor kepadanya, “Saya Andani”.
“Andani, nama yang bagus. Kalaupun aku nanti berkeluarga, punya anak, nama itu pasti menjadi pilihan utamaku”, kata Irwan bersohor. Andani cuma tersenyum getir. Diingatnya cerita ibunya perihal namanya itu. Seorang yang berhasil menggagalkan perampokan begundal-begundal PKI di kampungnya semasa era 50-an mengilhami ayahnya untuk menamainya Andani. Namun menurut cerita, Andani itu kemudian tewas oleh pistol sahabatnya sendiri yang telah berubah menjadi antek PKI. Kematian yang tragis.
“Begini Andani. Kamu kan butuh uang. Aku tidak perlu tahu berapa yang kamu butuh. Satu juta? Sepuluh juta? Seratus juta? Atau berapa saja? Yang penting uang, maka aku akan memberimu uang. Tidak perlu kamu pinjam. Cukup kamu bantu aku untuk selesaikan satu masalah. Ah, bukan masalah sebenarnya. Hanya satu kerjaan kecil. Bagaimana?”
“Ah pak Irwan. Saya ini orang kecil. Uang sejuta juga belum pernah saya lihat, apalagi pegang. Saya juga tidak butuh banyak. Cuman 50 ribu. Itupun saya hanya mau pinjam. Insya Allah akan saya kembalikan bulan depan. Kalau memang ada kerjaan yang saya bisa bantu, monggo pak. Aku insya Allah bisa membantu. Tinggal bilang apa kerjaannya pak”.
Irwan melongo. Mulut di bawah kumis acaknya, menganga. Dalam hatinya dia membatin, kok ada orang yang lugu kayak ini?
“Nggak Andani. Sekali lagi kamu gak perlu pinjam. Jumlahnya juga tidak akan segitu kecil. Masa’ sih aku ngasih kamu hanya 50 ribu? Itu kan penghinaan! Gak, aku akan ngasih kamu seratus juta. Kamu cuma perlu naruh barang ini di pasar itu. Di jalan masuknya itu lho. Bagaimana?”, bujuk Irwan sambil memperlihatkan bungkusan coklat rapi dalam kantung plastik yang dijinjingnya sedari tadi.
“Wah pak Irwan. Sekali lagi maaf. Bukannya saya gak mau kerja, tapi uang seratus juta yang entah gimana bentuknya itu, kan tidak seimbang dengan kerjaan saya nanti itu? Makanya pak Irwan, kalau bisa saya minjem aja. Cuman 50 ribu to’!”
Irwan mulai tidak sabar. Dicobanya lagi membujuk Andani dengan uang yang lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung. Andani ditawarinya 250 juta kontan. Andani semakin bingung. Semakin tidak mengerti mengapa Irwan berusaha membujuknya dengan uang yang lebih banyak. Karena semakin bingung, Andani yang hanya tamatan kelas 5 SD itu, mulai merasa kepalanya sakit. Pusing. Garuk-menggaruk kepala sambil mengernyitkan kening, mulai dilakoninya lagi. Tak ada suara keluar dari mulutnya. Irwan semakin tidak sabar.
“Ah sudahlah. Kalau kamu gak mau, ya sudah. Nanti aku cari orang lain. Masak ada orang nolak rejeki nomplok? Bodoh!”, maki Irwan sambil bergegas meninggalkan Andani.
Andani menatap punggung Irwan. Baru disadarinya kalau komentarnya membuat Irwan meninggalkannya. Cepat-cepat diburunya.
“Pak, jangan gitu dong. Biarlah saya kerjakan permintaan Bapak. Tapi saya memang cuman butuh 50 ribu. Untuk ongkos sekolah anakku. Cuman segitu pak. Ijinkan saya meminjam pak. Sekali ini saja. Tolong pak ....”
Muka Irwan tidak berubah. Walau sempat debar jantungnya mengeras dan hati kecilnya mengiyakan, tapi dia tetap tidak mau. Ditepisnya tangan Andani dengan keras, kemudian bergegas meninggalkan Andani. Andani pun tak mau kalah. Dalam pikirannya, mungkin hanya ini satu-satunya jalan untuk dapat membahagiakan Imah dan Gayah. Satu-satunya cara untuk menjadikan Imah tidak seperti Gayah dan dirinya, yang selalu hanya bisa ditindas oleh zaman. Akhirnya Andani berlutut, dipeluknya kaki Irwan erat.
“Mohon pak. Tolong saya pak. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Saya harus bisa membantu anak saya pak. Bapak satu-satunya harapan saya ...”, isak Andani sambil terus memeluk kaki Irwan.
“Heh, sudah. Orang tidak tahu diri. Ditawari uang banyak, malah nolak. Nih, 50 ribu. Pergi sana!”, hardik Irwan sambil melemparkan selembar 50 ribu ke dekat Andani. Andani bangkit, diraihnya uang itu. Dengan cepat, disambarnya plastik tempat bungkusan itu.
“Terima kasih pak. Saya memang orang kecil, tapi saya harus tahu berterima kasih. Saya akan laksanakan perintah Bapak. Di pasar ujung jalan itu kan? Di jalan masuknya? Insya Allah pak. Saya juga sudah janji hanya akan meminjam. Bulan depan kita ketemu lagi di sini, dan saya akan membayar hutang saya ini pak. Terima kasih pak”. Andani berjalan menjauh. Tangan kirinya menggenggam selembar 50 ribu dan kanannya menenteng plastik hitam berisi bungkusan coklat segiempat. Mulut Irwan kembali menganga. Semuanya terjadi begitu cepat. Tak dipercayanya apa yang barusan terjadi. Perlahan dua butir air menganak dari lubang di rongga matanya, menyaksikan punggung Andani yang menjauh. Irwan terisak. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Andani. Hatinya riang. Dibayangkannya Gayah dan Imah tertawa menerima uang yang akan dibawanya besok. Andani tertawa.
Hari ini, sehari setelah Irwan terisak dan Andani tertawa, sebuah bom meledak di pasar. Puluhan tewas dan ratusan terluka. Orang-orang menangis. Termasuk Irwan yang sedang berjalan menjauhi pasar, menuju pos polisi di seberang jalan. Terbayang di benaknya, Andani sedang tertawa dengan istri dan anaknya di rumah. Bersyukur kepada Allah yang Maha Pemurah karena telah dipertemukan dengan orang yang memberinya pinjaman 50 ribu. Irwan tidak lagi terisak. Dia bahkan tersenyum lebar tatkala masuk ke pos polisi itu.
“Saya yang meledakkan bom di pasar itu”, katanya mantap sambil memberikan tangannya untuk diborgol.
1 comment:
Kepolosan dan kejujuran seseorang dapat dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan. Semoga Allah menjaga setiap gerak langkah kita. Amin.
Btw kapan posting cerpen lagi?
Met ber'honey-moon' dech ;)
Widi
Post a Comment