Friday, December 21, 2007

Deden Mati, Minah ....

“Dor ... dor ...”

Dua letusan pistol memecah subuh. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu. Entah siapa lagi yang mati. Yang jelas sepertinya dari komplotan yang sama. Belakangan ini memang sering sekali terjadi penembakan-penembakan preman di daerah selatan kota. Sepertinya ada pemberantasan premanisme lagi. Masih ingat kan dengan kejadian beberapa tahun lampau di Jakarta? Tatkala mayat preman selalu ditemukan teronggok di dekat bak sampah, bawah jembatan atau bahkan di salib depan SD, dengan kepala tertembus peluru? Mengenaskan. Namun sekaligus melegakan. Buat sebagian orang tentunya.

Subuh itu berbondong-bondong orang menuju belakang pasar. Seperti tak mau kalah dengan yang selainnya untuk melihat muka siapa lagi yang bakal menghiasi halaman depan surat kabar sore nanti atau berita utama di televisi. Alhasil, sebentar saja, pelataran parkir belakang pasar tradisional itu, penuh sesak dengan orang-orang.

“Siapa? Siapa?”, tanya beberapa orang di lingkar terluar kerumunan. Dari arah depan, terdengar suara menyahut, “Sepertinya sih si Deden. Tuh, kan ada tatto mawar di tangan kanannya. Mana lagi rambutnya yang cepak itu!” Sebentar saja, dari seluruh penjuru kerumunan, terdengar gumaman-gumaman menyebut-nyebut nama Deden. “Ah, bukan Deden deh. Kalo Deden, mestinya otaknya gak ada yang terlempar keluar! Pan Deden gak punya otak!”, timpal seseorang. Sontak orang-orang pada tertawa. Namun sebagian hanya tertawa kecut. Utamanya seorang dengan postur tinggi besar, berkumis lebat, memakai pet dan berjaket kulit. Mukanya terlihat gelisah. Perlahan diingsutkannya tubuh besarnya keluar dari kerumunan, kemudian berjalan tergesa ke arah utara pasar.

Tak lama dia berjalan. Kira-kira dua ratus meter dari pasar, dia berbelok ke kanan, menuju pemukiman kumuh di seberang bantaran kali. Pada rumah kelima dari ujung gang ke tiga dari perempatan, dia berhenti. Rumah tua berdinding kusam. Dibukanya pintu perlahan, seperti tak ingin ada yang terbangun.

“Dari mana Bang? Kata mang Ujang, ada yang mati lagi ya? Di mana?”, tanya seorang perempuan berkain sarung dengan kaos tanpa lengan, dari dipan di dekat jendela. “Iya. Si Deden”, sahut si tinggi besar sambil melongok ke luar jendela. “Lho? Kang Mahdi, Deden ponakanmu?”, tanyanya lagi dengan nada tinggi. Mahdi menatap marah Minah, istrinya,”Ya iya! Deden siapa lagi yang aku kenal di sini kalo bukan Deden ponakanku? Sudah, jangan banyak tanya lagi. Urus anakmu sana. Mereka sebentar lagi bangun. Hari ini kan mereka sekolah?” Minah tertunduk. Dia tahu, pikiran suaminya sementara kalut. Bagaimana caranya membawa pulang Deden ke Banten, sementara untuk makan saja sulit. Atau jangan-jangan .......

“Kang! Jangan marah. Minah hanya tanya. Kalau memang sulit membawanya pulang ke kampung, kenapa tidak dikabari saja Bapak dan Ibunya. Biar mereka yang datang ke sini. Kalau begitu, kan Kang Mahdi bisa menghemat biaya pemakaman Deden?” bela Minah. Mahdi hanya bisa menatap istrinya nanar. Kegundahan jelas terpatri di matanya. Terbayang Deden sewaktu kecil dalam pangkuannya. Apalagi ketika diajaknya Deden ke kota untuk mengadu nasib sebagai kuli bangunan di proyek-proyek. Sebenarnya Lijah, ibu Deden, sudah melarangnya. “Eh Lijah, mana mungkin atuh anakmu kutelantarkan? Percayalah, anakmu akan sukses di kota bersamaku”, teguh Mahdi waktu itu.

Mahdi semakin tertunduk. Satu demi satu, air matanya jatuh. Minah hampir tak percaya melihatnya. Sejak Umay, anak perempuan mereka yang pertama, lahir, tidak pernah lagi disaksikannya suaminya itu menangis. Perlahan didekatinya Mahdi. Dipeluknya hangat bahu suaminya. Dirasakannya getaran hebat di dada Mahdi. Membuatnya semakin mempererat dekapannya. Tiba-tiba Mahdi berontak. Dilepaskannya dekapan Minah. Ditatapnya mata istrinya itu nanar.

“Aku .... aku yang membunuh Deden, Minah. Walau bukan aku yang menarik picu pistol yang memuntahkan peluru menembus kepalanya, tapi aku yang memberitahu mereka kalau ada sekelompok orang yang menolak pindah dari pasar. Aku yang memberitahu tempat kumpul-kumpul anak-anak pasar itu. Kuberitahu juga kalo Dadang yang menjadi pimpinan anak-anak itu. Kamis lalu, Dadang mati. Kemudian Soleh. Sekarang .... sekarang Deden. Kenapa mesti Deden, Minah? Kenapa? Anak itu belum tujuh belas! Tatto itupun baru dua minggu lalu dibuatnya. Ah ..... kenapa mesti Deden .....”

Minah terperangah. Apa hubungannya Mahdi dengan pembunuh Deden? “Mereka itu siapa Kang?”, tanya Minah heran. Mahdi kembali menatap istrinya. Kali ini dengan muka ketakutan. Dilongoknya jendela, lalu ditutupnya rapat-rapat. Pintu pun demikian. Setelah merasa aman, didekatinya istrinya, “Jangan kau keras-keras bicara Minah. Mereka ada dimana-mana. Kalau mereka mau, kita dengan gampangnya dibunuh. Tak ada yang bakal protes”.

Minah bertambah heran. Namun sebelum Minah kembali bertanya, Mahdi sudah menjawab duluan, “Mereka menginginkan pasar itu pindah. Mereka mau menggantikan pasar itu dengan pusat pertokoan sebesar mal. Mereka sudah pernah mencoba membakar paksa pasar, namun komplotan si Dadang dapat mematikan apinya. Bahkan sempat menghajar anak buah mereka sampai parah. Namun mereka tidak sempat mengenali siapa-siapa di komplotan si Dadang itu. Akupun diminta untuk memberikan gambaran fisik mereka satu persatu serta dimana mereka sering mangkal. Kebetulan, waktu itu anak-anak butuh pakaian dan uang sekolah, tapi aku tak punya uang. Mereka pun menawarkan bantuan untuk menutupinya. Aku terima, aku terima uang itu Minah! Tak pernah kusangka mereka akan sejauh itu bertindak. Aku salah Minah ...... salah ..... penjahat aku ini. Pembunuh .......”. Mahdi menangis terduduk di lantai. Minah pun ikut duduk. Menyapu punggung suaminya dengan kasih, “Sudahlah, yang penting kan bukan Kang Mahdi yang membunuh .......”

Sekonyong-konyong pintu diketuk. Minah kaget. Bangkit dan langsung membuka pintu. Disangkanya orang-orang yang membawa mayat Deden.

“Selamat pagi. Kami dari Kepolisian. Apakah bapak bernama Mahdi?” tanya polisi berseragam lengkap sopan. Mahdi mengangguk. “Kami punya surat penangkapan saudara. Saudara Mahdi, anda didakwa telah mengadakan pembunuhan terencana atas saudara Dadang dan Soleh. Kami akan membawa saudara ke markas untuk pengambilan keterangan lebih lanjut”. Minah tersentak.

Tanpa uzur, dari arah ruang tengah muncul Umay menenteng sesuatu sambil menggosok-gosok matanya, “Abah, ini teh pistol siapa?” Mahdi menoleh lirih ke Minah, “Maafkan aku Minah. Tapi bukan aku yang membunuh Deden”.

Minah pun pingsan.

No comments: