Gembok pagar rumah bernomor 46 itu sudah dibukanya. Hanya dengan berbekal sebuah kunci roda, parang gemuk dan sebilah golok kecil, Ujaz nekat mencuri sendirian di rumah besar dalam kompleks terkenal itu.
Pada dasarnya, Ujaz bukanlah pencuri. Tatkala pulang bersekolah dari pendidikan tinggi agama Islam di kota Gudeg, didapatinya rumahnya acak-acakan. Ibu dan kedua adiknya tewas dibacok. Ayahnya sendiri sekarat di dapur. Lukanya sangat parah, sampai-sampai Ujaz sempat lemas sesaat. Namun sesaat kemudian, sudah disanggahnya kepala ayahnya di pangkuannya. Walau dengan luka separah itu, sang ayah masih mampu membuka mata lalu berkata lirih, “Ujaz, maafkan ayahmu ini. Ibu dan kedua adik-adikmu tak mampu Ayah selamatkan dari kawanan perampok itu. Mereka terlalu banyak”. Ujaz pun tak mampu berkata-kata lagi. Dia hanya bisa menggangguk. Matanya basah. Tangannya yang penuh darah tak mampu lagi menyeka ingus yang keluar tanpa henti. Perlahan tangan sang ayah bergerak lemah. Ditunjuknya lemari buku di dinding timur ruang tengah. “Al Quran”, desahnya. Ujaz dengan serta merta mengerti keinginan ayahnya. Diraihnya Al Quran yang dimaksudkan ayahnya itu; didekatkan ke tangan ayahnya, namun tangan itu tak mampu lagi menggenggam. Seiring dengan jantung yang tak mampu lagi memompa darah, karena telah tertumpah banyak di lantai dapur. Sang ayah telah berpulang ke hadirat-Nya. Ujaz pun terpana, derai air matanya tak terbendung. Terisak keras-keras. Sepuluh menit lebih, dia seperti itu. Namun terdorong latar belakang ilmu agama yang ditekuninya, Ujaz meraih kedua tangan ayahnya. Mendekapkan di dada, kemudian menutup kedua mata ayahnya yang masih setengah terbuka. Kemudian diraihnya Al Quran itu, dibukanya dan spontan dibacanya Yaasin. Tatkala telah sampai di halaman kedua surah itu, terjatuhlah amplop dari dalam Qur’an. Dengan tangan gemetar namun penuh keingintahuan, diraihnya amplop itu. Dibukanya perlahan. Surat bertinta biru dengan tulisan dan tanda tangan ayahnya. Dengan tetap berbanjir airmata, dibacanya perlahan surat ayahnya itu.
“Ujaz, tatkala kau baca surat ini; itu berarti aku sudah mati. Entah di rumah, atau di rumah sakit. Entah dibunuh atau mengerang karena sakit asmaku. Namun sebelum aku benar-benar mati, akan kuceritakan rahasia terdalamku padamu. Ketahuilah Ujaz. Selama duabelas tahun kau bersekolah di Jogja, belajar agama Islam, sampai bergelar Sarjana Agama, engkau kubiayai dengan kunci roda, parang gemuk dan golok kecil. Engkau makan dari hasil mencuriku ke rumah-rumah besar kepunyaan konglomerat-konglomerat; yang rajin menyogok dan ogah membayar pajak. Uang hasil curianku itu memang tidak halal. Namun aku tak punya keahlian lain selain mencuri. Makanya kusekolahkan kau untuk belajar agama Islam, supaya nanti kau tidak akan jadi pencuri seperti ayahmu ini. Tapi, jika tidak terlalu berat bagimu, aku minta kau simpan ketiga benda itu baik-baik. Pula, kau harus ketahui, jika suasana dan keadaan tidak lagi bersahabat; pergunakanlah ketiga benda tersebut. Kuingatkan pula, kalau sekarang ini, sudah banyak orang yang tahu kalau aku ini pencuri. Jadi, engkaupun menjadi anak pencuri, mau atau tidak. Namun dari semua itu, utamanya aku minta engkau berjanji untuk selalu berkata dan berbuat jujur. Dalam masalah apapun”. Ditutupnya kembali surat itu perlahan. Kekagetannya akan kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pencuri, masih mengguncangnya. Namun dalam hatinya tertoreh janji seperti yang dimintakan ayahnya. Ya, dia telah berjanji pada dirinya sendiri.
Sepeninggal ayah, ibu dan kedua adiknya, Ujaz berusaha hidup di rumahnya dengan sisa-sisa peninggalan perampok itu. Namun ternyata, tak sampai dua bulan, biaya hidup semakin lama semakin tidak mencukupi. Satu persatu barang-barang peninggalan orang tuanya dijualnya untuk menyambung hidup. Terdesak begitu, akhirnya Ujaz mulai mencari kerja. Mulailah dia bergerak dari pintu perusahaan satu ke pintu perusahaan yang lain, menjajakan keahliannya dalam bidang agama. Namun setelah sekian lama, dirasakannya kalau semua perusahaan pasti tidak mau menerimanya. Oleh janjinya pada ayahnya untuk berkata dan berbuat jujur, membuatnya tak diterima bekerja di lingkungan perusahaan. Siapa sih yang mau mempekerjakan anak pencuri? Kan buah mangga tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya?
Memasuki bulan ke sepuluh setelah peristiwa perampokan itu, Ujaz sudah mulai berputus asa. Telah lelah badan dan pikirannya untuk mencari pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya. Diingatnya kembali pesan-pesan ayahnya. Lama Ujaz tepekur. Walau tidak sejalan dengan kata hatinya, tuntutan hidup membuatnya berketetapan hati untuk mencoba peruntungan hidup seperti yang dijalani ayahnya.
Demikianlah, akhirnya Ujaz tiba di depan rumah mewah bernomor 46 tadi. Merusak gembok pagar dan telah berada dalam rumah. Pemilik rumah ini benar-benar kaya, pikirnya. Bayangkan saja, di garasinya yang sangat besar terparkir delapan sedan dan MPV mewah. Sementara di dalam rumah, segala kemewahan pun terlihat. Dari ubin marmer sampai ke home theatre. Semuanya memang layak untuk dijadikan target utama pencurian pertamanya.
Tatkala sedang menginventaris apa yang harus dibawanya pulang, matanya tanpa sengaja melihat foto keluarga yang terpampang di dinding. Seorang ayah, ibu dan tiga anak; seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Persis sama dengan keluarganya. Tak terasa butiran air matanya bergulir jatuh. Diingatnya kembali, betapa kebahagian memayungi keluarganya. Menyeluruh. Masuk ke semua celah-celah kehidupan yang ada. Ujaz tertunduk. Ya Allah, apakah salahku sampai harus berbuat seperti ini. Apakah harus kutanggung salah ayahku karena mencuri? Dia memang hanya tahu mencuri; dan akupun bisa sekolah tinggi gara-gara pekerjaan hina ini. Oh Rabbiku, tuntunlah aku. Seperti tak kuat aku menerima cobaan-Mu. Dia kembali tertunduk terisak.
Teng ... teng ... teng ... teng ... teng. Lima kali jam besar itu berdentang. Menyadarkan Ujaz. Ditatapnya jam besar itu lamat-lamat. Subuh, desisnya. Layak kerbau dicekok hidungnya, Ujaz bergegas mencari kamar mandi. Didapatinya pancuran kecil di sebelah kanan ruang keluarga. Diambilnya air wudhu. Usai itu, dicarinya ruangan yang paling bersih. Tepat di sebelah dinding pancuran, ada ruangan cukup besar. Mushalla. Dibersihkannya pakaiannya. Ditanggalkannya balaclava hitamnya. Dihamparnya sajadah. Ditegakkannya dan dihadapkannya tubuhnya ke kiblat. Tangannya terangkat di samping telinga.
“Allahu Akbar ........ Allahu Akbar”
Dan Ujaz pun azan subuh itu. Menyadarkan kita dari tidur nyenyak dan kemunafikan yang menyesatkan.
No comments:
Post a Comment