Friday, December 21, 2007

Kebun Jagung

“Gus .... Agus .......... Bantu emakmu ambil air nak”

Walau telah berulang kali didengarnya kalimat itu, Agus belum beranjak sejengkalpun. Kelumpuhan bapaknya akibat terjatuh dari pohon sukun hampir setahun lalu, membuat remaja tigabelas tahun itu menjadi pembantu utama ibunya, mencari nafkah dengan menjual bubur jagung di pasar. Selain air, sering pula ibunya menyuruh mencari bumbu-bumbu penyedap bubur jagung di hutan kecil sebelah timur lubuk. Dan benar saja, suruhan itu kembali terjadi.

“Gus, kalo sudah cukup segentong airnya, tolong juga cari juga bunga candu dan sedikit madu hutan”, teriak ibunya dari dapur. Agus yang sedari tadi masih setia di depan buku cerita yang dipinjamnya di sekolah, mendengus pelan. Dia ingat ajaran Ustad Umar, “Jangan pernah berkata ah pada ibumu, karena dosanya sudah cukup untuk membawamu menghuni neraka selama-lamanya”. Walau Agus bukanlah murid yang patuh pada guru, namun jika sudah ada kaitannya dengan neraka, pastilah dia tidak bertanya lagi. Akhirnya setelah merapikan buku cerita itu di atas meja, dihampirinya ibunya. Ibunya tersenyum, “Lagi membaca ya? Nantilah kau lanjutkan, tolong emak sebentar ya?” kata ibunya sambil menyorongkan gentong kecil dan keranjang bambu anyam. Agus cuma tersenyum. Dia tahu, walau hidup kesusahan, ibunya selalu sadar akan pentingnya pendidikan. Dia tidak mau tahu kalau Agus jauh lebih suka membaca buku cerita ketimbang buku pelajaran. Yang penting, buku! Karena menurutnya, buku apapun itu, asal kita mau membacanya, pastilah kita bisa menangkap maksudnya. Dan tidak ada buku yang mengajarkan kesia-siaan. Asal maksud dan tujuan buku tersebut benar-benar nyata dan dapat dipahami.

Tidak lama, Agus sudah ada di tepi hutan. Kalau dilihat baik-baik, walau tidak terlalu besar, hutan itu sebenarnya cukup menyeramkan. Beberapa teman Agus pernah hilang di sana. Orang-orang bilang, disembunyikan setan. Namun setelah beberapa lama, mereka yang hilang pasti ditemukan kembali setelah sehari atau dua. Sebenarnya ada rasa takut bergelayut di tengkuk Agus. Terakhir kali ke situ, walau hari masih siang menjelang sore, Agus mendengar percakapan yang amat ramai dari dalam hutan. Namun dia pun tahu, kalau tidak pernah ada orang yang tinggal dalam hutan itu. Makanya hari itu, Agus agak gemetar juga masuk ke hutan. Soalnya waktunya persis dengan kejadian terakhir kali ke sana. Kata orang, setan, dedemit atau apapun sebangsanya, paling suka mengganggu pada waktu-waktu yang sama. Hii ... ngeri juga, batin Agus.

Sepuluh langkah pertama, Agus masih hati-hati sekali. Butuh hampir tiga menit untuk sampai pada posisinya sekarang. Setiap dua langkah, ditajamkannya pendengarannya. Segala macam bunyi disaringnya. Ditelaahnya sampai yakin kalau itu hanya suara dedaunan yang bergerak tertiup angin. Setelah langkah terakhir, dirasakannya tidak ada kejadian yang mencurigakan. Napas lega mulai dihelanya. Mulai disesuaikannya matanya dengan keadaan sekitar. Daun, perdu sampai lumut, hijau. Ranting, batang pohon sampai akar muncul dan gantung, coklat. Kalau ada warna lain, pastilah burung atau serangga atau bahkan sampah. Sampah? Beberapa meter di sebelah kanan, ada sesuatu berwarna ungu kebiruan. Ungunya seperti ungu bungkusan deterjen bubuk yang banyak di pasar. Didekatinya benda ungu itu. Semakin dekat, semakin nyata kalau benda itu bukan sampah. Tapi seperti kain selendang. Diambilnya pelan. Benar, ternyata selembar selendang. Selendang? Siapa yang punya selendang? Perempuan mana yang berani masuk ke hutan ini? Agus menyernyitkan dahi, mencoba mengeliminasi siapa saja di kampungnya yang punya selendang seperti itu. Ibunya, tidak. Mbak Tiwil, tidak. Hmmmm .... tidak ..... tidak ... tidak .... Sudah terlalu banyak nama dan bayangan muka perempuan-perempuan yang silih berganti lewat di benaknya. Namun tidak ada satupun yang dapat membuatnya yakin. Ada satu dua, tapi mereka jelas tidak bisa masuk hutan, sudah terlalu tua. Hmmm, siapa ya? Masih dalam kebingungannya, mata Agus melihat lagi satu benda, sekitar empat meter ke arah depan. Warnanya keemasan. Segera Agus menghampiri. Tusuk konde dengan bentuk kipas kecil, lengkap dengan sederetan batu berkilau. Seperti berlian. Atau memang berlian? Selendang ungu diletakkannya di keranjang bambunya, sebelum meraih tusuk konde itu. Emas, tusuk kondenya dari emas, teriak Agus dalam hati. Wow, pastilah batu-batu itu juga berlian. Mata Agus mulai berbinar. Terbayang apa yang dapat dilakukannya dengan benda itu. Dia bisa periksakan bapaknya ke dokter, bantu jualan ibunya, bayar tunggakan uang sekolah. Bahkan mungkin bikin perpustakaan pribadi. Lengkap dengan buku-buku cerita pilihannya. Tapi....? Dahinya kembali berkerut. Ini kan bukan punyaku? Mana bisa aku ambil? serunya dalam hati. Jangan-jangan, barang-barang ini kepunyaan seorang wanita yang dibunuh kemudian mayatnya dibuang dalam hutan! batin Agus. Pernah didengarnya cerita tentang hilangnya seorang wanita juragan kain di pasar. Wanita itu tinggalnya di kampung sebelah. Tapi .. ah, itu kan sudah ketahuan kemana hilangnya. Kawin lagi. Agus tersenyum sendiri. Tapi kalau begitu, selendang dan tusuk konde ini punya siapa? Sambil berpikir terus, matanya melirik kesana kemari. Jangan-jangan ada barang lain lagi. Siapa tahu saja berharga? Kan bisa dipakai buat hal-hal lain! pikir Agus mulai serakah.

Selang beberapa menit, tak didapatnya apa-apa. Kakinya yang tadi gemetar dan hati-hati, mulai gampang melangkah. Perdu-perdu mulai disibaknya. Bawah-bawah pohon dikoreknya. Bahkan lumut pun dicabutnya. Tanpa dia sadari, sudah tengah hutan. Anehnya, jarak antar pohon semakin renggang. Angin yang biasanya dirasakan kalau berada di lembah, malah terasa di pipinya sekarang. Beralasankan heran dan ingin tahu, Agus melangkah terus. Sekitar lima belas meteran, langkahnya terhenti. Tak dipercayainya apa yang terpampang di depan hidungnya. Matanya menatap langsung ladang jagung yang sangat luas. Dengan jagung-jagung yang sudah siap petik. Bahkan ada beberapa yang sudah menyembulkan bongkolnya. Gemuk dan padat. Napas panjang kembali dihelanya untuk redakan detakan jantung yang semakin keras dan cepat. Segala perasaan bertumpuk menjadi satu. Agus berlutut. Matanya berkaca-kaca. Teringat betapa susahnya ibunya membeli jagung, mengolah kemudian menjualnya. Andai sudah diketahuinya ladang jagung itu sejak lama, pasti usaha ibunya sudah sangat maju. Ah ... Tuhan, Engkau Maha Adil. Tatkala kami sedang kesusahan, Kau turunkan bantuan-Mu untuk kami, doa Agus menengadahkan tangannya ke langit. Lepas dengan segala perasaan keingintahuan akan pemilik ladang, Agus berlarian di sela-sela pohon jagung. Dipetiknya dengan riang, jagung demi jagung. Tatkala tangannya penuh, dia kembali ke tempat dimana gentong air dan keranjang bambunya dia letakkan. Dilihatnya kembali selendang dan tusuk konde emas yang didapatnya tadi, tergeletak dalam keranjang. Agus menggeleng riang. Ditumpahkannya isi keranjang ke tanah. Diisinya keranjang dengan jagung-jagung itu. Setelah itu, dia berlari kembali memetik jagung demi jagung. Setelah penuh, kembali ditumpahkannya jagung-jagung itu ke dalam keranjang. Begitu seterusnya sampai hari hampir gelap. Sadar kalau hari sudah hampir malam, Agus berkemas tergesa-gesa. Gentong digantungnya di bahu kiri, sementara keranjang bambu digendongnya dengan kedua tangan. Karena berat, maka Agus tak bisa berlari-lari riang seperti suasana hatinya. Sempat terpikirkan sesuatu, namun sekejap terlupakan. Dia terlalu senang.

Lepas magrib, dia tiba di depan pintu rumahnya.

“Maaaak .... Emaaaaak. Agus pulang!” teriaknya. Terdengar langkah tergopoh-gopoh dari arah dapur. Muka lesu ibunya muncul dari balik kain gorden pembatas ruangan. Didapatinya Agus dengan sekeranjang penuh jagung. Besar-besar lagi. Agus tertawa-tawa. Namun ibunya tidak, tersenyumpun tidak.

“Dari mana jagung-jagung ini Gus?” tanya ibunya.

“Dari hutan Mak. Di sana ada ladang jagung yang luaaaas sekali. Lebih luas dari ladang Haji Toha di pinggir kampung yang terbakar setahun kemarin. Jagung-jagung di keranjang ini cuma secuil. Emak bisa bikin bubur sampai tiga bulan tanpa harus beli di pasar. Kan enak?” cerocos Agus lancar. Ibunya tersenyum arif, “Tapi jagung-jagung ini bukan punya kita kan, Gus? Apa Agus mau pembeli jajanan Emak makan barang haram? Jangan ya? Tolong kembalikan lagi jagung-jagung ini besok sebelum ke sekolah. Ya?”

Agus terdiam terpaku. Akhirnya tertunduk. Segala kegembiraan musnah seketika. Keinginan untuk menyenangkan ibunya, harus dikuburnya dalam-dalam. Sadar akan suasana kelu hati Agus, ibunya bertutur, “Rejeki setiap orang memang telah ditetapkan Tuhan, namun bukan dengan cara yang tidak benar. Setahun lalu Bapakmu pun dapat jagung seperti ini. Tapi dia tidak beritahu Emak. Dibakarnya di dapur tatkala tak ada orang. Waktu Emak tiba dari pasar, Bapakmu sudah terlentang tak bisa bergerak di lantai. Emak tidak mau itu terjadi padamu, Nak”. Agus termangu, “Jadi Bapak tidak jatuh dari pohon sukun?”.

Ibunya tersenyum menggeleng. Dielusnya kepala Agus penuh sayang. Kasih ibu memang penuh mukjizat. Agus pun mengerti, juga ikut tersenyum. Tanpa banyak kata, dibereskannya gentong air dan keranjang bambu yang dibawanya tadi. Peluh mengalir deras, namun kelegaan hati terasa lebih sejuk.

Masih pagi sekali. Setengah enam. Agus dengan seragam putih birunya, kembali menggendong keranjang bambunya yang penuh jagung. Lewati lubuk dan bergerak ke timur, masuk hutan. Langkahnya sudah tidak seperti kemarin. Sekarang sudah ringan dan bahkan dengan bersiul-siul. Namun tatkala mulai lewat tempat ditemukannya selendang serta tusuk konde emas kemarin, siulannya berhenti. Mulai didengarnya suara riuh rendah. Suara itu lagi. Suara yang membuatnya takut untuk masuk hutan sejak lama. Ramai sekali suara itu, pikir Agus. Teringat suara itu pernah didengarnya sebelumnya. Dicobanya mengingat-ingat kembali dimana dia pernah mendengar suara seperti itu.

Walau gemetar, kaki tetap dilangkahkannya. Sampai tepat di tempat ditumpahkannya selendang dan tusuk konde emas kemarin. Tempat dimasukkannya jagung-jagung itu kemarin. Sinar matahari mulai menerangi hutan. Ditolehnya ke samping. Selendang dan tusuk konde itu masih ada di sana. Namun hamparan jagung dalam ladang luas tidak didapatinya. Hanya batu-batu berwarna hitam yang menyembul satu satu. Nisan-nisan! Seketika muka Agus pucat. Dirasanya keranjangnya meringan. Sontak dilepaskannya keranjang bambu itu dari gendongan tangannya. Jagung-jagung itu sudah tidak ada lagi. Hanya dedaunan kering berwarna coklat. Menumpuk acak dalam keranjang. Mukanya bertambah pucat. Langkahnya meringan. Dia berbalik. Dan lari. Terus berlari. Dalam larinya, diingatnya kembali dimana didengarnya suara itu sebelumnya. Kebakaran besar yang melanda asrama pekerja, gudang dan ladang jagung Haji Toha, dua hari setelah panen setahun kemarin. Tak ada yang selamat.

1 comment:

Anonymous said...

Ini cerita horor? Btw, pesan yg ingin disampaikan: ingat mati, balasan atas ketidakjujuran, harta tidak kekal, trus apa lagi ya....
Saya seperti ikut dalam perjalanan agus di hutan..............