Kantin sedang ramai. Memang, sedang waktu makan siang. Antrian masih cukup panjang. Tubuh kecil Dimin masih terjepit di antara raksasa-raksasa mantan jagal kota itu. Biasalah, kalau antrian seperti ini, Dimin pasti terjepit. Memang, nomor urut napinya ada di antara nomor napi tukul, tukang pukul. Mereka itu bodyguard para napi kelas kakap. Entah itu disengaja atau tidak, yang jelas, Dimin selalu terintimidasi kalau antrian makan.
“Heh, lu lagi. Bikin panjang antrian aja. Cepetan sana! Ta’ sabet kon!”, gertak Jodul, Joni Gundul, sambil mengibaskan tangan. Dimin segera merapat ke depan, menaruh omprengannya di meja berjalan. Koki dan tukang bagi makan, mengernyitkan dahi menatapnya. Keringat dingin mulai membahasi overall Dimin. Dia paling tidak bisa ditatap dingin seperti itu. Jluk! Setangkup bubur jagung sudah di omprengannya. Dua buah perkedel jagung yang kelewat matang, juga sudah ada. Terakhir, sayur asem dengan sepertiga jagung. Tergesa-gesa, dia bergeser, seraya meraih gelas minum plastik berwarna biru di akhir meja berjalan. “Hei cunguk! Itu gelasku. Ambil yang lain!”, bentak raksasa di belakangnya. Dimin mengangguk takut. Diambilnya gelas yang berwarna kuning, kemudian bergegas ke ujung kantin, tempatnya biasa makan. Dimin baru dapat bernapas lega, waktu sudah duduk di meja itu. Paling tidak, selama jam makan, dia bisa tenang.
Sebenarnya Dimin bukanlah penakut. Dia juga termasuk penjahat yang cukup sadis. Empat orang yang dibunuhnya dengan sabit di depan orang banyak menjadi saksi nyata kesadisannya. Hanya satu alasannya, “Mereka menginjak-injak harga diriku”.
Awalnya, Dimin bekerja di kantor notaris yang mengurus surat keabsahan tanah. Bukan sebagai notaris, PPAT atau kerani? Dia hanya bertugas membersihkan seluruh ruangan, tatkala semua penghuni ruangan sudah pulang. Cleaning Service, istilah kerennya. Walau cuma CS, singkatan dari Cleaning Service, Dimin sebenarnya cukup terdidik. Lulusan terbaik SMEA di kabupatennya. Itu predikat pendidikan terakhirnya. Setelah itu, orang tua dan keluarganya angkat tangan. Akhirnya ke kota mencari peruntungan. Siapa tahu saja, saya bisa diterima bekerja di kantor sebagai juru hitung? Kan saya lulusan SMEA? Terbaik lagi, batin Dimin. Namun apa dinyana, ijazah SMEA serta piagam penghargaan Bupati, tidak mampu mengantarnya ke posisi yang diidamkannya. Menjadi CS akhirnya menjadi gantungan kehidupannya. Nasib, katanya selalu. Tapi kan saya menabung? Siapa tahu, tabunganku nanti cukup untuk sekolah lagi?
Awal perjalanan hidupnya sebagai napi terjadi di suatu sore di akhir tahun keenamnya di kantor itu sebagai CS. Kala itu, kantor sudah sepi. Seingatnya hanya tinggal dia, Romi dan Musikan. Dua yang terakhir, satpam. Keduanya berpos di dekat lift. Maklumlah, kantor notaris itu hanyalah sebuah kapling kecil di lantai 12. Walau begitu, ruangan dalam kantor cukup banyak. Kalau dijumlahkan semua, termasuk dua WC dan kamar mandi, ada empatbelas ruangan. Jumlah yang cukup fantastis untuk dibersihkan seorang CS dalam waktu kurang dari empat jam. Mulai dari pukul 18.00 sampai 22.00. Itu karena pukul 22.15, seluruh kantor dalam gedung harus sudah tertutup.
Ruang pertama yang akan dibersihkannya adalah ruang pimpinan notariat, Rahman Gurning, SH.,MH. Kunci diputar perlahan. Hei, kok lampu meja pak Rahman masih menyala? Pasti dia lupa mematikannya, batin Dimin. Dinyalakannya lampu besar yang bisa menerangi seluruh ruangan.
“Min”. Dimin terkejut. Dari balik meja, muncul pak Rahman dengan rambut teracak dan bersinglet. Lebih terkejut lagi tatkala di belakang pak Rahman, muncul seorang wanita dengan kondisi pakaian hampir sama dengan pak Rahman. Selintas Dimin memicingkan mata. Wanita ini kok sepertinya saya kenal ya?, tanya Dimin dalam hati.
“Sorry, Min. Aku kira kamu tidak jadi masuk hari ini”, kata pak Rahman sambil terus memperbaiki pakaiannya. “Ngng ... saya tetap masuk pak”, jawab Dimin tak berani menatap. Lewat ekor mata, diliriknya sesekali wanita itu. Kok sepertinya wajah wanita ini familiar sekali ya? batinnya sekali lagi. Tak dirasanya, pak Rahman sudah ada di sampingnya. “Min, lanjutkan kerjamu. Aku pulang. Ingat, jangan sampai lupa kunci pintunya kalau selesai!”, kata pak Rahman tanpa senyum sambil melangkah keluar bersama wanita itu. “Saya pak!”, jawab Dimin patuh. Begitu dua makhluk berlainan jenis itu keluar dari pintu, Dimin pun mengela napas panjang. Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah ...... berulang kali Dimin beristigfar. Namun sesaat kemudian, dia teringat tenggat waktu untuk selesaikan pekerjaannya. Dimin pun mulai membersihkan. Ruang demi ruang. Kurang lima menit pukul sepuluh, seluruh kantor telah dibersihkannya. Usai bersalin, dia pun pulang ke rumah kontrakannya di bantaran kali pinggiran kota.
Dua hari kemudian, gajian datang. Seperti biasa, Dimin datang ke kantor lebih awal. Menunggu bersama-sama Romi dan Musikan.
“Min, kamu bakal dapat kenaikan gaji lho. Sampe 200-an ribu!” seru Musikan serius. Dimin menoleh kaget, “Ah, yang betul mas. Mas tahunya dari mana?”. Musikan tersenyum penuh misteri, “Pokoknya beneran deh. Kamu lihat saja nanti”. “Hmmm, kalo mas berdua, naik juga?” tanya Dimin.
“Gak! Kita kan gak sempat mergoki bos dengan perempuan kiriman bos notariat yang di lantai 11 itu?” jawab Romi enteng.
“Hush! Kamu ngomong apa sih, Mi! Yang begituan gak dicerita sembarangan!” sikut Musikan. Romi merengut. Dimin mulai ingat dimana pernah dilihatnya wanita itu. Beberapa minggu lalu, waktu Dimin baru saja akan memulai pekerjaannya, dilihatnya ada rapat yang masih berlangsung di ruangan pak Rahman. Pintunya terbuka sejengkal, sehingga Dimin dapat langsung melihat siapa-siapa yang ada dalam ruangan. Ada empat orang. Dua orang berstelan jas lengkap, pak Rahman dan seorang wanita. Seorang dari yang dua tadi, dikenalnya sebagai pimpinan notariat di lantai 11.
“Begini pak Rahman, kalau Bapak dengan senang hati dapat bergabung dengan kami, pastilah karir Bapak bakal melonjak. Pak Rahman kan tahu, kami menangani kasus-kasus besar!” bujuk pimpinan notariat lantai 11 itu. Pak Rahman tersenyum. Dia mengangguk yakin. Mereka pun bersalaman.
“Gampanglah itu pak Rahman. Diatur saja. Kalau para pemegang saham itu masih gak mau gabung juga, carikanlah jalan supaya mereka mau. Terserah Bapaklah. Ya?”.
Itulah fragmen yang mengingatkannya akan wanita itu. Wanita itulah yang bersama pak Rahman dua hari lalu.
Benar kata Musikan, gaji Dimin naik 200-an ribu. Alhamdulillah. Tabunganku bisa nambah lagi, syukur Dimin. Memang, walau sudah enam tahun bekerja, gaji Dimin belum pernah dinaikkan. Tapi apa karena kejadian hari itu? Ah, memang sudah waktunya gaji saya dinaikkan, batin Dimin akhirnya.
Sebulan setelahnya, peristiwa itu pun terjadi. Bermula tatkala Dimin mendengar dari Romi, kalau kantor akan ditutup. Segala aset akan dialihkan ke kantor notaris yang ada di lantai 11. Sekejap Dimin terpaku. Kok seperti yang pernah dicuri-dengarnya dulu waktu itu? Apa orang-orang itu beneran mau membeli notariat ini? tanya Dimin dalam hati.
“Mas, kenapa bisa bangkrut? Setahu saya, kantor ini kan aman-aman saja. Malah banyak kasus-kasus yang masuk?” tanya Dimin ke Romi.
“Anu Min. Katanya ada dokumen yang hilang. Dokumen itu merupakan bukti pemilikan tanah yang sangat luas di sekitar Tangerang. Nah, dokumen itu katanya menjadi taruhan kelangsungan hidup kantor ini. Seperti jaminanlah, kalau di Pegadaian. Kalau sampai hilang, maka kantor ini harus bertanggung jawab sepenuhnya. Terus, setelah dihitung, ternyata segala nilai dan harga kantor ini, masih kurang dibandingkan dengan harga tanah itu. Makanya kantor ini dinyatakan bangkrut. Gitu Min!”, jelas Romi panjang. Dimin mengangguk mengerti. Ketika akan beranjak ke gudang CS, tangannya dipegang Romi.
“Eit ... ada lagi Min. Ini ada surat dari bos. Dia tadi nitip ke aku untuk diserahkan ke kamu. Nih”, kata Romi sambil menyodorkan surat ke Dimin. Karena rasa ingin tahu, Dimin segera membuka surat itu. Surat itu cukup pendek. Pelan dibacanya dalam hati.
“Yang terhormat Sudimin. Seperti yang kamu ketahui, kantor ini memerlukan pembiayaan yang lebih baik untuk berkembang. Untuk itu, kantor ini harus bergabung dengan kantor lain yang lebih bonafid. Tapi kami memerlukan kamu untuk jadi sebab. Kamu akan kami tuduh menghilangkan dokumen penting kantor, sampai-sampai kantor ini bangkrut karenanya. Jangan takut, paling-paling kamu akan dipenjara setahun, mungkin kurang. Namun, yang jelas kamu akan kembali kami pekerjakan di kantor yang baru. Itu lho, kantor yang di lantai 11. Nanti setelah kerja di sana, gajimu akan dinaikkan berlipat-lipat dari sekarang. Aku janji deh! Ok ya? Trims. Rahman”.
Mata Dimin memerah. Serasa timah panas dijerang di ubun-ubunnya. Tanpa banyak kata-kata, dilakukannya semua pekerjaannya.
Esoknya, Dimin datang siang hari. Romi dan Musikan tidak curiga sama sekali. Mungkin ada yang harus dilakukannya, berkenaan dengan surat dari pak Rahman yang kemarin, pikir mereka. Apa yang mereka pikirkan, benar adanya. Hanya saja tidak senegatif apa yang akan Dimin lakukan.
Dengan muka merah, Dimin masuk tanpa ketuk. Dihampirinya pak Rahman, yang sedang memimpin rapat. Diraihnya sabit dari dalam tas jinjing yang dibawanya sedari tadi. Diayunkannya ke leher pak Rahman. Bet! Darah mengucur deras. Tak ada suara. Semua peserta rapat terpaku ditempatnya. Tak ada yang berani menolong pak Rahman yang sudah rubuh bersimbah darah. Ditatapnya mata pak Rahman lekat-lekat dengan benci. Setelah puas, dibalikkannya tubuhnya keluar ruangan. Orang-orang yang dilewatinya tak ada yang bersuara. Semuanya terdiam. Sabit berlumuran darah masih digenggamnya. Dimin turun ke lantai 11 lewat tangga darurat. Kantor notaris yang dipimpin orang berstelan jas itu, dimasukinya. Juga tanpa ketuk. Sesaat dia berhenti, kemudian melangkah ke ruangan berdinding kaca di sebelah kiri pintu besar. Dalam ruangan itu ada tiga orang yang dulu pernah dilihatnya di ruangan pak Rahman. Dua orang berstelan jas dan wanita itu. Mereka sepertinya sedang bercengkrama sambil minum-minum. Dimin menendang pintu. Sambil melompat, diayunkannya lagi sabitnya. Pertama ke arah pimpinan kantor. Kedua, ke arah teman pimpinan kantor. Keduanya segera roboh bersimbah darah. Wanita itu berteriak histeris. Namun hanya sekali. Lima detik kemudian, dia pun jatuh dengan darah membanjiri blusnya. Napas Dimin yang semula memburu, perlahan-lahan mulai mereda. Tubuhnya mulai terasa lelah teramat sangat. Sabit penuh darah masih digenggamnya. Lututnya melemas. Matanya nanar. Perlahan tubuhnya melunglai. Sesaat kemudian, Dimin terjatuh. Hilang kesadaran. Pingsan. Masih dengan sabit di tangan.
“Hei buluk! Lo duduk di tempat gue! Minggir sana!”.
Dimin tersentak sadar dari lamunannya. Di depan mejanya sudah sedemikian banyak tubuh besar berdiri. Seperti menantang. Jodul yang tadi membentaknya, berdiri paling dekat dengan mejanya. Dimin tertunduk. Diingatnya lagi betapa seringnya dia diperlakukan seperti itu. Sudah sejak hari pertamanya di LP. Bayangkan! Empat tahun dengan setiap harinya dianggap sampah oleh orang-orang yang juga sampah masyarakat. Darahnya mulai mendidih. Dikepalkannya tangannya, mencoba menenangkan diri.
“Cepetan minggir!” bentak Jodul lagi. Lepas bentakan itu, Dimin loncat. Dicengkeramnya leher Jodul dengan kuat. Titik simpul saraf di antara telinga dan tulang rahang lelaki raksasa itu, ditekannya kuat-kuat. Akhirnya, Jodul jatuh berlutut. Lemas tanpa ada perlawanan berarti. Sendok yang sedari tadi masih dipegangnya, diarahkannya ke mata Jodul. Dimin pun berteriak lantang ke arah serombongan raksasa-raksasa lainnya, “Hei, saya Dimin. Saya bukan cecunguk-cecunguk seperti kalian. Tukang tindas sesama demi uang. Saya juga bisa kejam. Mata temanmu ini pasti bisa jadi saksi”. Tak ada suara. Semuanya berhenti makan. Menatap takut ke arah Dimin. Sampai-sampai ada yang kencing celana, termasuk Jodul yang masih tergeletak tak ada daya.
“Ampun Min. Aku cuman main-main kok”, kata Jodul terbata-bata menahan sakit. Cengkeraman Dimin melonggar. Dihelanya napas panjangnya berulang-ulang. Diingatnya kembali peristiwa itu. Dua jenak kemudian, leher Jodul pun dilepasnya. Sendok itu pun sudah dibuangnya ke lantai. Dimin pun berdiri tegak. Ditatapnya muka mereka satu persatu. Terpancar ketakutan yang amat sangat dari mata mereka. Dimin tertunduk lagi. Dirasakannya beban itu sekali lagi. Bukan tatkala sabit itu diayunkannya berkali-berkali, namun saat darah sudah melingkupi seluruh permukaan sabit. Walau berat, Dimin kembali menegakkan kepalanya, tidak lagi tertunduk lesu. Dia berjalan tegap keluar kantin. Seluruh mata tanpa kedip menatap setiap langkahnya. Tiba di luar, ditolehnya ke arah kanan. Lima belas meter dari tempatnya berdiri sekarang, ada gerbang. Besar, tinggi dan kokoh. Gerbang menuju dunia bebas. Gerbang yang ingin sekali dilewatinya enambelas tahun lagi. Insya Allah, senyum Dimin penuh arti.
1 comment:
menghela nafas panjang, itulah yang kulakukan setelah membaca cerita ini.............
Post a Comment