Koridor ruang kuliah cukup tenang. Tidak ada mahasiswa yang lagi menunggu dosen, apalagi hanya kongkow-kongkow. Pokoknya tenang. Super tenang malah. Tapi kalau telinga manusia bisa menangkap pembicaraan dua semut di lantai, maka super tenang bukanlah kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaan di koridor itu.
“Masih jauh gak?”, tanya Semut Merah. Semut Hitam yang punya kecenderungan berjalan lebih cepat, karena tidak seberat Semut Merah, menoleh, “Masih. Tenang sajalah. Kalau sudah dekat, pasti kuberitahu”. Mereka terus berjalan. Ubin demi ubin. Mengendus ke sana ke mari. Benar-benar penuh ketelitian dan kesabaran. Jengkal demi jengkal, walau semut tak pernah punya tangan yang berjengkal.
Seharian, dari matahari muncul sampai tenggelam mereka sudah berjalan. Tak ada henti. Koridor sepanjang hampir dua ratus meter, belum habis mereka selusuri. Letih dan lelah menggayut pada keenam kaki mereka. Andai mereka dapat berpeluh dan berpakaian, pastilah mereka sudah banjir keringat sedari tadi.
“Hitam, kita sudah jauh sekali dari sarang. Baik sarangku maupun sarangmu. Sejauh ini, kita belum dapat apa-apa. Sungutku sudah lelah menerawang segala sudut. Kita istirahat dulu ya?”, desah Merah. Hitam yang masih tetap berada di depan, memimpin penjelajahan, menoleh lemah. Mengangguk. Dia juga sudah sangat lelah. Perjalanan yang disangkanya cepat dan pendek, ternyata sebaliknya. Mereka kemudian berhenti di ujung sebuah ubin, yang juga awal dinding vertikal. Setelah mencari cukup lama, terpilihlah sebuah lubang yang cukup mereka pakai untuk beristirahat, melemaskan segala segmen kulit keras mereka.
“Hitam, maafkan aku kalau tak cukup tenaga untuk pencarian ini. Tapi kuyakinkan kau, semangatku belum pudar sedikitpun. Akan kujalani ini bersamamu. Sampai akhir nanti. Apapun itu”, kata Merah. Hitam yang sudah pada posisi istirahatnya, hanya menoleh perlahan. Memandangnya penuh arti. Menghela napas panjang. “Merah, sudah jauh perjalanan kita. Sudah kau rasakan betapa sulitnya perjalanan ini. Janganlah meminta maaf karena itu. Kan aku juga merasakan apa yang kau rasakan. Paling tidak, segala yang kau rasakan, pastilah kurasakan juga”.
Merah memandang Hitam. Hitam pun memandang Merah. Rasa percaya, senasib dan sepenanggungan terpancar dari mata mereka. Keduanya tersenyum. Tapi tak selang lama, terdengar langkah berat memasuki lubang tempat mereka beristirahat.
“Hei, semut-semut kecil. Ada apa kalian di sini. Daerah ini bukan daerah yang baik untuk kalian”, gema Rangrang yang empat kali lebih besar dari Merah. Sontak, Merah dan Hitam bangun. Mereka tak sanggup berkata-kata. Terlalu takut akan gema suara Rangrang.
“Jangan kalian takut dengan aku. Badanku memang besar. Tapi aku juga semut. Sama dengan kalian. Hayo, apa yang kalian bikin sampai pergi dari sarang kalian?” kata Rangrang menenangkan. “Maafkan kami, kalau kami merepotkanmu Rangrang. Kami berdua dalam perjalanan mencari sesuatu yang menurut kami punya makna untuk hidup kami”, jawab Merah. “Apa itu?”, tanya Rangrang lagi. “Pernahkah kau rasa bahwa hidup kita ini punya sesuatu tujuan? Kau pasti sudah tahu, kalau kami berdua golongan semut ulet. Aku prajurit dan Hitam pekerja pengangkut. Namun kami rasa, menjadi prajurit dan pekerja bukanlah tujuan hidup kami. Ada sesuatu di balik semua itu. Awalnya, kami pikir yang akan kami cari itu segunung gula. Tapi ternyata bukan. Kami pernah menemukan dan bekerja mengangkut segunung gula ke sarang. Tapi setelah selesai, kerinduan akan tujuan hidup itu tidak kami dapatkan. Akhirnya kami berdua sepakat meninggalkan segalanya untuk mencari sesuatu yang bisa menerangkan mengapa kami selalu rindu tujuan hidup. Tidakkan kau pernah merasakan hal seperti itu, Rangrang?”, tanya Merah mulai tenang. Rangrang menghela napas. Dipandangnya kedua semut kecil di depannya. Timbul rasa kagum akan keduanya. Dia tahu, perjalanan mereka sudah sangat jauh. Dia pun tahu, kalau apa yang mereka cari, tidak akan mereka dapatkan. Walau sampai ke ujung dunia sekalipun.
“Kalian berdua bukan cuma ulet. Namun juga berjiwa ksatria. Aku, Rangrang yang disebut-sebut sebagai Si Perkasa, sama sekali tak punya keberanian seperti kalian berdua, Ksatria-kstaria sejati”, jawab Rangrang. “Tapi kau kan semut terbesar dan paling perkasa dari semua semut yang ada? Mengapa engkau berkata begitu?”, sanggah Merah. Rangrang kembali menghela napas panjang, “Ketahuilah sahabatku, aku pun pernah merasakan yang kau rasakan. Namun aku tak pernah punya keberanian untuk mencarinya. Aku malu. Bukan padamu. Tapi pada diriku sendiri. Ah ....”, hela Rangrang sambil berjalan tertunduk keluar lubang. Merah dan Hitam saling berpandangan. Benarkah semut segagah dan perkasa Rangrang tidak punya keberanian? Ataukah mereka yang terlalu bodoh? Sampai-sampai tidak tahu kalau apa yang mereka lakukan sekarang hanyalah kesia-siaan belaka? Namun sekejap kemudian, mereka tersenyum. Dengan perasaan bangga, semangat mereka kembali memuncak. Mereka sadar kalau hal terpenting yang harus ada dalam diri mereka adalah kerinduan akan sesuatu itu. Sesuatu yang tak mereka ketahui, entah sampai kapan, namun mereka rasa kehadirannya.
Ah ....... rindu memang mengalahkan semuanya.
No comments:
Post a Comment