Friday, December 21, 2007

Obrolan Dua Guling

“Pak Suminta baru saja beristri kembali, setelah hampir empat tahun ditinggal mati istrinya. Memang, tanpa anak dan usia yang masih tergolong muda membuatnya harus berusaha untuk mencari istri lagi. Paling tidak, urusan dapur dan kasur, tidak membuatnya kelimpungan.

Alhasil, setelah mencari hampir setengah tahun, didapatkannya orang yang mau menjadi istrinya. Lilis namanya. Seorang pegawai bank dengan penghasilan lebih dari cukup. Pokoknya, hampir sebaik posisi dan gaji pak Suminta sebagai pegawai perusahaan swasta, dengan tingkatan manajer operasional. Dengan kata lain, urusan dapur tidak bakalan menjadi halangan.

Setelah urusan adat dan lainnya selesai, maka terselenggaralah pernikahan kedua pak Suminta dengan perawan tingting bernama Lilis itu. Resepsinya cukup meriah. Dihadiri banyak handai tolan serta kerabat dan teman-teman sejawat mereka. Semuanya, paling tidak, hampir semuanya merasa bahwa memang sudah sepantasnya pak Suminta mempersunting Lilis dan demikian pula sebaliknya. Pokoknya, all out, tidak ada masalah yang akan menghalangi perjalanan kehidupan mereka.

Pesta usai, tibalah malam pertama mereka. Pak Suminta yang memang sudah pernah menikah, bertindak sebagai guru yang dengan sabar membimbing istrinya, yang memang masih tingting. Malam itu mereka jalani dengan baik dan penuh dengan rona kepuasaan dari keduanya. Lilis menangis haru tatkala semuanya usai, dengan kesadaran bahwa kehidupannya sudah berubah dengan status sebagai istri, di atas kertas dan juga di atas kasur. Sementara pak Suminta, sujud syukur kepada Tuhan, karena ternyata dia telah dikaruniai lagi istri yang akan bersamanya menghadapi segala tantangan kehidupan di hari depan.

Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan. Akhirnya tak terasa, sudah setahun mereka bersama dalam mahligai perkawinan. Namun, walau keduanya masih cukup muda, mereka belum dikaruniai anak. Keduanya kemudian berusaha mencari jalan lain. Mulailah mereka berkonsultasi dengan dokter. Ikut terapi kehamilan. Malah sesekali jalan-jalan ke dukun-dukun untuk mencoba alternatif lain. Namun memasuki tahun ketiga, anak tak kunjung tiba. Pada saat bersamaan, perusahaan swasta tempat pak Suminta bekerja, mengadakan perluasan daerah kerja dengan membentuk cabang-cabang di beberapa kota yang berpotensi menjadi pusat domisili klien. Pak Suminta, sebagai manajer operasional, dituntut untuk bekerja ekstra. Hasilnya, kadang hanya dua hari dalam seminggu dia bisa pulang dan bermalam di rumahnya. Demikian pula halnya Lilis. Bank swasta tempatnya bekerja mengadakan peremajaan pekerja. Beberapa pegawai yang tidak mampu lagi bekerja seiring dengan misi dinamis perusahaan, terpaksa dirumahkan; sehingga karyawati rajin, teguh dan ulet seperti Lilis akhirnya ketiban durian runtuh. Dia dinaikkan menjadi manajer umum perkreditan. Sungguh suatu jabatan yang cukup bergengsi. Namun konsekwensinya, setiap hari dia harus pulang paling lambat. Jadilah Lilis menjadi tukang kunci pagar rumah kalau tengah malam tiba. Malah terkadang, suaminya lebih duluan tiba di rumah. Sudah ngorok lagi. Akhirnya setelah tahun ketiga usai, pertemuan mereka hanya terjadi sesekali saja dalam sebulan. Sungguh sebuah cerita mengenaskan”, akhir si Guling Kanan.

“Hei hei, sudah-sudah itu ceritamu Kanan”, potong Guling Kiri. Guling Kanan yang sedari tadi bercerita dengan lantang, lugas dan penuh ulasan-ulasan, menoleh ke kiri, terus menimpali, “Ini juga sudah selesai. Emangnya ada cerita lain? Pan sekarang kita sudah bekerja lagi. Dulu, waktu majikan kita, pak Suminta ini masih beristrikan Dewi, kita kan tidak pernah terpakai? Mana pernah mereka butuh kita? Meluk kita? Wong mereka itu, begitu naik ke ranjang, langsung pelukan. Syukur-syukurlah mestinya kita sekarang. Jadi, jangan marah begitu kalo aku kepanjangan ceritanya”.

Si Kiri tepekur, “Benar juga katamu ya? Selama majikan kita beristri kembali, kita malah jadi berfungsi. Tapi apa mereka seneng meluk kita gak ya?”.

Belum habis obrolan keduanya, pak Suminta dengan muka lusuh dan loyo masuk ke kamar, langsung naik ke ranjang dan mengambil si Kiri. Dia baru saja menyelesaikan harinya yang melelahkan dan penuh rapat-rapat. Terasa seluruh tubuhnya dirampas waktu dan orang-orang. Akibatnya, kepalanya lelah, kedua tangan dan kakinya capek serta seluruh indranya tak punya daya lagi untuk mencerna keadaan lingkungan. Dimana pun lingkungan itu.

Tak lama kemudian menyusul Lilis, dengan tubuh kepayahan dan kelelahan yang amat sangat, juga langsung mengambil si Kanan. Bank swasta tempatnya bekerja memang telah menghadiahinya jabatan penting dan bonafid. Namun seharian tadi, segala kemampuannya diuji dengan membludaknya kendala kreditur yang bermasalah dan memacetkan cash flow bank secara global. Akhirnya, segala kecerdikan, kemampuan bernegosiasi serta ketahanan tubuh akan deraan fisik maupun psikis, membuatnya kecapekan. Pukul 10.25 malam, baru dia dapat mengunci pintu gerbang rumahnya.

Sekarang, keduanya ada di atas ranjang. Beradu punggung. Tanpa suara. Hening. Bahkan suara napas mereka sendiri.

Sepuluh menit, duapuluh; mendekati setengah jam, mulai terdengar isak kecil. Perlahan-lahan mengeras dan semakin mengeras. Lilis berbalik. Ternyata pak Suminta sudah berbalik juga. Mereka saling menatap dan bertaut mengeratkan. Berkaca-kaca. Seperti berusaha saling memahami kesedihan, kegalauan, dan kelelahan yang selainnya. Perlahan dan pasti keduanya melepaskan Kanan dan Kiri. Kemudian saling berdekapan. Bertangisan. Keduanya bercerita dengan isak dan debaran jantung. Keikhlasan dan kelegaan hati membekap keduanya lembut. Seperti tak mau lepas. Seakan tak akan pernah mau melepas lagi. Selamanya.

Kanan dan Kiri serempak berguman, “Yah .... Kita di PHK lagi deh!”

No comments: