Friday, December 21, 2007

Maafkan Aku, Istriku

“Assalamu ‘alaykum Istriku. Bagaimanakah kabarmu dan anak-anak? Maafkan suamimu ini ya? Agak lama baru bisa membalas emailmu. Tahulah, minggu-minggu terakhir ini adalah minggu-minggu penuh kesibukan. Paper harus masuklah, ada conference-lah. Benar-benar sibuk.

Oya, paperku sudah masuk. Alhamdulillah, akhirnya bisa masuk juga. Walau ada pembantaian saat seminar, namun bisa akhirnya selesai. Eh, masih ingat Indrianto kan? Dia gagal. Setelah hampir dua tahun tanpa kejelasan kelulusan ujian research student. Kasihan dia. Namun aku sempat bilang, “Ndri, kamu jangan terlalu bersedih ya? Kamu masih muda. Masih banyak kesempatan. Jika tidak bisa di Hirodai, cari lagi ditempat lain. Usahakanlah ya? Jangan pernah menyerah”. Indri cuma tersenyum kecut. Namun aku yakin, dia akan bisa bangkit lagi. Engkau kan tahu, dia bukanlah orang yang gampang menyerah. Masih ingat juga kan, tatkala mereka memintanya mengambil sampel ikan di ujung Hokkaido sana saat-saat dingin memuncak di pertengahan Januari lalu? Aku ingat saat mengantarnya ke Saijo Eki, dia bilang, “Mas, jangan sumpek begitu dong mukanya. Para sensei itu hanya ingin membuatku baik. Doakan saja agar bisa kembali dengan selamat”. Ahh, anak itu begitu kuat. Namun hidup selalu berputar. Seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah.

Istriku, Saijo saat-saat sekarang sudah tidak lagi hangat. Dingin sudah mulai menusuk setiap hari. Terlebih di pagi hari. Kadang-kadang kabut pun turun. Matahari pun sudah mulai jarang muncul. Kadang membuatku mengantuk saat harus ke kampus. Sayang, engkau sudah tidak di sini. Oya, daun-daun cicanada itu sudah merah semua lho? Malah sudah ada yang rontok separuhnya. Benar-benar indah. Sayang ya, engkau tidak bisa menikmatinya. Tapi aku banyak foto kok! Nanti aku muat di flickr saja ya? Pasti kau suka. Malah minggu kemarin aku dan teman-teman sempat jalan-jalan ke Miyajima. Ahh istriku, benar-benar indah. Hati ini terasa tenang dengan pemandangan itu. Ketenangan yang dihasilkannya. Dengan kemuramannya yang elegan, mampu membuat kita hanyut. Susah berkata-kata. Ahh, istriku andai kau bisa di sini bersamaku sekarang.

Istriku, sekarang milist sedang ramai. Maklumlah, sudah saatnya pemilihan lagi. Ahh, mengapakah harus ada pemilihan ya? Mengapa kita-kita tidak langsung saja urug rembug saja, musyawarah terus memutuskan seseorang yang akan mengkoordinir mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Hiroshima ini. Ya mengkoordinir kita-kita ini. Ada yang menginginkan orang lama yang jadi balon. Harus orang lama, maksudnya. Ada juga yang mempertanyakan mengapa harus ada demikian? Hmmm, susah jadinya. Yang satu ada benarnya, yang lain juga ada. Walaupun melihat dari sisi yang berbeda, namun keduanya jelas mempunyai nilai kebenaran. Tapi yang jelas istriku, engkau tidak perlu khawatir, aku tidak akan ikut pemilihan itu. Buat apa? Memecah konsentrasi saja. Memang ini merupakan tugas mulia, namun janji tetap janji. Tapi maafkan aku istriku. Kemarin mereka mendaftarkan aku. Aku sudah bilang, istriku melarang. Namun mereka tidak mau tahu. Ahh, kenapa juga ya, waktu itu aku memasukkan data bahwa pernah menjadi pimpinan organisasi kemahasiswaan? Apalagi waktu terjadi peristiwa mengerikan itu. Masih ingat kan? Itu lho, anak Indonesia yang kesurupan dan akhirnya bunuh diri. Kan aku yang akhirnya mengurus segala sesuatunya sampai mayat anak itu bisa pulang dengan cepat ke tanah air? Aku ingat, tepukan tangan mereka di bahuku saat mengantar mayat anak itu di bandara. Tatapan mereka tulus dan yakin, tatapan terima kasih. Mungkin juga kekaguman. Tapi jangan khawatir istriku. Aku akan mengundurkan diri dari status balon. Jangan khawatir ya? Promise is still a promise to be keep”

Sulis menghela nafas. Panjang dan berat. Ditatapnya sekali lagi draft email untuk istrinya. Raut muramnya muncul kembali. Sudah tiga hari email itu begitu. Tak juga dikirim. Namun setiap saat, dilihatnya. Direnunginya. Ahhhh ….

“Salamu aalykooom. Pak Sulis, cepetan dong? Ditungguin tuh. Keretanya setengah jam lagi lho …”

“Iya …. Sbentar lagi saya turun”

Ditatapnya sekali lagi draft email itu. Kebimbangan masih tetap bergayut, memainkah gundah hatinya. Dia kemudian berpaling, berjalan ke pintu. Menguncinya. Bergegas turun. Dia harus cepat. Kereta ke Tokyo akan berangkat setengah jam lagi. Pertemuan antar ketua PPI se-Jepang itu harus diikutinya siang ini.

No comments: