Friday, December 21, 2007

Kisah Kusnadi

Halte Volvo di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, semakin padat. Hujan deras yang tiba-tiba turun membuat sejumlah pengendara sepeda motor berhenti untuk berteduh. Pejalan kaki pun tak mau ketinggalan. Demi menghindari hujan, mereka berlarian menujualte ini. Seorang pemuda tampak terpeleset saat berlari menuju halte ini.


Tak sampai lima menit, halte dipenuhi tak kurang dari 30 orang. Halte yang sebelumnya sepi, kini ramai oleh gemeretak rahang orang menahan dingin. Desahan menggigil juga meramaikan suasana.


Asap rokok tampak begitu tebal di halte ini. Beberapa wanita terpaksa menutup hidung menghindari sambaran tar dan nikotin itu.


Tak berapa lama, sebuah gerobak bakso merapat ke pinggir trotoar halte. Kemudian, sang penjual ikut berteduh. Halte pun makin padat.


"Mas, baksonya dua. Yang satu tidak pakai mi," kata seorang wanita pada si penjual bakso.


Masih tampak kedinginan, dengan baju sedikit basah, Kusnadi, tukang bakso itu, segera menghampiri gerobaknya dan menyiapkan pesanan sang wanita.


Belum selesai membuat pesanan pertama, dua pemuda juga memesan bakso. "Bakso saya tidak pakai seledri ya, Mas," kata pemuda itu.


Tak lama, tukang bakso berusia 32 tahun itu sibuk membagikan empat mangkuk bakso pada pemesannya di tengah kepadatan halte.


Kepulan asap kuah bakso, ternyata mengundang peneduh lain memesan bakso Kusnadi. Pria asal Bojonegoro, Jawa Timur ini pun membatalkan niatnya berteduh.

Tak lagi perduli dengan baju basah dan udara dingin, Kusnadi sigap melayani pembeli seperti halnya saat cuaca cerah. Sesekali, ia tampak sedikit tergelincir licinnya lantai halte..


Sekitar pukul 23.50 WIB, hujan mulai reda. Peneduh pun mulai berkurang. Tinggal enam orang yang masih berteduh. Kusnadi pun sibuk membereskan mangkuk kotor.

Ketika sedang mencuci mangkuk, seorang ibu yang sejak tadi duduk di sudut halte, menghampiri Kusnadi. "Mas, saya boleh minta kuah baksonya saja?" kata si ibu.

Kusnadi mengangkat wajahnya, menatap sang ibu. "Iya, Bu, Nanti saya buatkan. Sebentar ya Bu, saya cuci mangkuk dulu," kata Kusnadi pada wanita itu.


Wanita itu pun kembali ke sudut halte, di mana juga tampak seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Di pundak kanannya, tersampir tas punggung biru tua yang sudah lusuh. Celana pendek dan kaos yang dipakainya pun, tak lebih baik dari tasnya. Warna sandal jepit yang dipakai pun tak seragam kiri dan kanan.


Wanita berusia empat puluhan tahun ini, duduk di sebelah si bocah dan merangkulnya. Saparti dan Wawan, nama ibu dan anak ini tampak begitu lelah. Sesekali, terdengar gemeretak gigi beradu dari si anak, tanda ia menahan dinginnya udara. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kedua orang ini.

"Ini Bu, baksonya," kata Kusnadi sambil menyodorkan dua mangkuk bakso lengkap. Bukan cuma kuah seperti pesananan Saparti. "Mas, kok pakai bakso? Saya kan cuma minta kuah?" kata Saparti dengan tatapan bingung.


"Tenang saja, Bu. Itu gratis kok. Ibu tidak usah bayar," sahut Kusnadi.


Tanpa menunggu jawaban Saparti, Kusnadi kembali ke gerobaknya, membuatkan pesanan untuk sepasang muda-mudi yang baru bergabung di halte ini.


Sementara itu, Saparti dan Wawan menyantap bakso itu dengan nikmatnya. Sesekali, Saparti mengarahkan pandangannya pada Kusnadi. Usai membuatkan pesanan muda-mudi tadi, Kusnadi membereskan dagangannya.


"Sudah, Mas. Jadi berapa?" kata Saparti pada Kusnadi. "Sudah, Bu. Tidak apa-apa. Insya Allah, saya ikhlas. Masa saya tega cuma memberi kuah, padahal dagangan saya sedang laris. Hitung-hitung bagi-bagi rezeki, Bu," ujar Kusnadi tersenyum.

Saparti tak bisa menolak kebaikan Kusnadi. Berkali-kali, Saparti mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya meninggakan halte ini. "Kalau mau beramal harus menunggu sampai jadi orang kaya, kapan saya bisa beramal?" tutur Kusnadi sambil tertawa kecil.

No comments: