Saturday, October 4, 2008

Pulang

Pukul 09.02, jam besar di atas jalan masuk ke Saijo eki. Salim menghela nafas panjangnya, masih lama pikirnya. Masih ada sekitar satu jam delapan menit sebelum bis tiba. Ditolehnya ke kanan, Fira tertidur dengan lelapnya di bangku kayu. Walau suhu sudah sangat berubah mendingin sejak mulainya musim gugur sebulan lalu, tapi Fira tetap saja lelap. Mungkin legitimasi umur yang cukup muda yang membuatnya tidak terlalu perduli dengan dinginnya malam di depan eki.
Salim kembali menatap dengan penuh haru muka dan mendengar dengkuran halus anaknya semata wayang itu. Terbayang betapa sulitnya Fira dapat hadir di antara mereka, Salim dan Niar. Apalagi tatkala dikenangnya betapa mudanya mereka, berkelana ke Jepang, terdampar di kota kecil di timur laut Hiroshima, kemudian kehamilan Niar yang tidak terduga dan akhirnya lahirnya Fira. Awalan yang sedih dan melelahkan kemudian diakhiri dengan adanya Fira dan diterimanya mereka berdua di Hirodai sebagai gakushei, Salim S3 dan Niar S2. Kebahagiaan yang teramat sangat, walau mereka sadar bahwa kesibukan akan menyita segala sendi waktu yang mereka punyai. Namun Salim dan Niar tetap mengembangkan senyum, sadar bahwa semua ini adalah karunia. Bukan sebagai bencana, paling tidak, kala itu.
Pukul 09.10. Saijo eki tiba-tiba penuh orang, berdesakan keluar dari eki menuju bis-bis yang siap di halte masing-masing. Ada yang ke Daigaku, Kure, Takehara dan mana saja. Semua bergegas, seperti tak ada satupun yang memperhatikan mereka. Semuanya sibuk. Salim kembali menghela nafas panjangnya. Angin yang tadinya bertiup lembut dari liang dekat eki, terus menguat. Fira menggeliat sejenak, sedikit kedinginan. Salim cepat-cepat merapikan jaket Fira. Diingatnya kalau Fira terkadang sangat rentan dengan udara dingin, walau berkali-kali dokter di klinik dekat shitami itu selalu bilang “daijoubu … daijoubu”. Apalagi tatkala Niar mulai sangat sibuk dengan jikken-nya, sampai-sampai harus meninggalkan kepengasuhan Fira yang kala itu belum genap setahun, padanya. “Lo kan S3, jikken lo bias dimana aja kan? Ngomong dong ke Senseimu! Gue sibuk banget nih, lab gak mungkin gue tinggalin kan?” Rentetan kalimat-kalimat itu selalu menjadi senjata Niar ke Salim. Dan jika Salim mulai terpancing marah, Niar selalu saja punya kartu As untuk menangkalnya. “Eh, lo mau marah? Gak inget Lo, kan lo yang maksain nikah? Gue dah bilang, mau lanjut sekolah, mau kerja, tunggu barang 2-3tahun. Tapi slalu aja desak-desak, ini lah itulah …. Makanya, tanggung jawab juga dong!” Salim kembali tepekur mengingat itu semua.
Pukul 09.18. Hening di eki pecah dengan suara beberapa laki-laki yang keluar dari bar di seberang eki. Ada yang langsung muntah, ada juga yang masih dengan santainya menggandeng teman perempuannya sambil memegang botol sake kecil. Buru-buru teman-temannya memeganginya agar tidak jatuh terjungkang. Salim menatap nanar. Diingatnya beberapa saat tatkala Niar baru saja menyelesaikan presentasi akhirnya, “Lim, boleh gak gue dan temen-temen jalan-jalan ke kota malam ini?”. Salim tersenyum mengangguk. “Tapi lo gak perlu tungguin gue deh, soalnya teman-teman sudah booking bar di Hondori sampe tengah malam”, seru Niar berlalu tanpa menunggu jawaban Salim. Salim mengernyit bingung. Bar? Sudah lupakah Niar tentang Tuhan? Dan malamnya, tatkala Salim baru saja selesai menidurkan Fira, Niar datang. Tidak sendirian, namun diantar teman laki-lakinya yang juga setengah mabuk. Mengebel berkali-kali. Salim membuka pintu saat Niar baru saja muntah di dekat pintu. Salim cuma bisa maraih Niar dari tangan laki-laki itu dan perlahan memapahnya masuk ke rumah. Syukurlah Fira sudah tidur, jangan sampai dia melihat ibunya seperti itu, desah Salim. Mengingat semua itu, membuat Salim berpikir lagi. Sudah benarkah tindakannya kala itu? Apakah mestinya dia biarkan saja Niar di depan pintu, agar dia bisa sadar akan tindakannya yang keterlaluan itu? Ah, entahlah. Yang penting Fira bisa tetap dalam kondisi baik dan tidak terpengaruh dengan kondisi ibunya yang seperti itu.
Pukul 09.32. Angin mulai keras lagi. Setidaknya ada dua kereta barang yang melintas dengan kecepatan tinggi meniupkan angin dari dalam eki ke luar. Cuaca oktober yang sudah lumayan dingin, menjadi semakin dingin karenanya. Fira kembali menggeliat. Salim bertindak cepat. Ditariknya lebih kencang dan rapat jaket Fira. Fira membuka matanya. Dahi mungilnya berkerut. Sepertinya akan bangun. Namun ternyata kelopak mungil itu kembali tertutup. Mungkin terlalu lelah, setelah seharian melihat ayahnya mengepak barang, membawanya turun dari lantai 10 Sunsquare kemudian berjalan dengan troli pinjaman ke eki. Walau cuaca sedemikian dinginnya, namun mengepak barang-barang membuat Salim berkeringat keras. Bajunya basah sedari tadi, kondisi yang tidak terlalu baik untuknya, apalagi setelah hampir empat bulan lalu sempat terkena hypothermia berat. Salim melamun lagi. Diingatnya kala itu, tatkala Niar memaksanya mengantarnya ke Hiroshima Airport di tengah hujan deras, sementara dirinya tengah super sibuk menyelesaikan manuskrip disertasinya. “Ayo dong Lim, flightku tinggal dua jam lagi. Berabe kan kalo gue ketinggalan pesawat? Apa kata Sensei? Lagian, gue kan gak make duit lo untuk tiket? Ayo, cepetan dong!” Akhirnya Salim jadi juga mengantarnya. Sementara itu awan gelap sudah terlihat bergerak menuju Siraichi, pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Untuk itu Salim memacu Mira bututnya itu sekencang-kencangnya. Namun apa daya, setiba di bandara, hujan turun dengan derasnya. Alur droping penuh mobil. Niar mulai tidak sabaran dan mulai memaki-maki sembarangan. Siapa pun dimakinya. Akhirnya setelah sekian lama menunggu antrian droping, Niar bergegas turun saja tanpa peduli lagi dengan aturan. “Lim, gue turun. Jangan lupa koper gue”. Salim hanya bisa menatap dingin. Marah, kesal dan kasihan menjadi satu. Bergegas dicarinya tempat parkir. Namun entah mengapa, ternyata setelah sekian lama mencari, tidak ada satupun tempat parkir yang kosong. Akhirnya terpaksa diparkirnya mobilnya di samping jalan masuk yang lumayan jauh dari area drooping. Hujan semakin deras saja mengguyur Siraichi. Salim bergegas mengeluarkan koper Niar dari dalam bagasi. Salim sempat tertegun sejenak, melihat jumlah koper Niar. Tiga, ya tiga. Yang besar pula. Apa sih yang dia bawa? Masa gakkai lima hari bawa barang segini banyak, batin Salim. Ah, mungkin banyak buku dan lain-lainnya. Sudahlah, yang penting dia tidak marah-marah lagi. Dengan susah payah, ditariknya tiga koper itu di tengah derasnya hujan dan angin. Dirasakannya semua pakaiannya basah. Dingin mulai menyengat. Pelan-pelan dari kepala sampai kaki. Tangannya mulai gemetar. Namun teriakan Niar dari drooping zone membuatnya awake kembali. Dengan segenap tenaga yang ada, walau sudah hampir 24jam matanya tidak sempat beristirahat karena manuskrip itu, ditariknya ketiga koper berat itu menuju Niar. Tatkala tiba, bukannya terima kasih yang didengarnya, namun makian Niar yang menjemputnya kasar. “Lambat banget sih! Masa laki-laki kuat seperti lo gak bisa narik tiga koper ringan ini? Ayo, terusin naikkan ke trolley nih. Boarding bentar lagi” Salim kembali hanya bisa menatap pucat. Dalam pikirannya, biarlah. Sudah kepalang tanggung. Tidak sampai 15menit kemudian, mereka sudah tiba di counter. Tak lama, penimbangan dan check in selesai. Niar melirik ke arah Salim, “Jaga Fira ya?” Salim tersenyum mengangguk. Walau dengan seluruh badan gemetar kedinginan, dirasakannya pancaran keibuan dalam mata Niar. Syukurlah dia masih ada perhatian untuk anaknya, batin Salim pelan. Namun selepas itu, Niar berlalu tanpa kata lagi. Salim pun sudah mengerti dan tidak lagi mengharap apapun seperti cium saying ataupun bahkan lambaian tangan. Salim pun beranjak pelan. Gemetar keras menghambat gerakannya. Kepalanya terasa mulai berdenyut keras. Tatapannya nanar. Sedetik kemudian, Salim tidak ingat lagi apa-apa. Tatkala matanya membuka, langit-langit putihlah yang pertama dilihatnya. Langit-langit rumah sakit. Salim merasa kepalanya sangat berat, namun tidak terlalu pusing lagi. Salim mendesah panjang. Terbayang kerjaannya akan menjadi telat kembali gara-gara ini. Ah …
Pukul 09.45. Malam semakin larut, suhupun semakin turun. Walaupun demikian, angin ternyata perlahan mulai mereda. Salim merapatkan kembali jaketnya. Fira masih tertidur pulas dengan jaketnya. Posisi tidurnya menandakan dia sudah mulai tenang. Kembali Salim melamun. Hal yang paling membuatnya terguncang adalah tatkala setibanya di rumah, Fira yang sementara dijaga Kimiko, tetangga sebelah apatonya, sementara bermain sendirian di depan pintu rumah yang terkunci dengan secarik kertas terselip di kantong kecilnya. Ditariknya kertas tersebut dan sepintas terlihat tulisan tangan Niar. Ternyata semacam surat yang ditulis Niar dan mungkin ditaruhnya di kantong sebelum berangkat ke airport. Isinya singkat, “Lim, gue dah gak tahan hidup ma lo. Gue mau coba untuk hidup sendiri, ngejar keterbelakangan karir yang mestinya gue punyai seperti temen-temen gue. Jagain Fira. Mungkin kalo gue dah bisa, gue bakal datang lagi ngambil dia, Niar”. Salim jatuh terduduk. Dirasakannya goncangan yang super keras menghantam dadanya. Salim tak sanggup bernafas. Dirasakannya pandangannya mulai memudar lagi dan akhirnya Salim pingsan. Salim terbangun dalam kamarnya sendiri. Kimiko sudah ada disampingnya, “Genki desuka? Daijoubu?”. Salim cuma bisa mengangguk dengan berat. Di samping Kimiko ada Fira yang memandangnya penuh kecemasan. Terbayang kembali isi surat singkat Niar itu. Serasa gada raksasa kembali menghimpit dadanya. Nafasnya kembali sesak. Namun kali ini tidak membawanya pingsan. Kimiko menawarkan segelas air putih. Perasaan Salim mulai membaik setelah gelas kedua. Himpitan itu berangsur lenyap, terganti dengan asa yang seperti mulai membara. “Aku harus bangkit. Tidak boleh menyerah sama sekali dengan keadaan. Mungkin memang Niar tidak bisa hidup dengan aku dan Fira, walaupun sedemikan banyak perbedaan di antara kami. Di saat Niar ada dalam barisan orang-orang yang fancy, aku pasti berada dalam barisan orang-orang kere-nya Indonesia. Sungguh suatu perbedaan yang mencolok. Aku harus bangkit! Salim tersenyum simpul mengingat kala itu. Titik balik yang kemudian menjadikannya meraih gelar Dr-Eng. Benar-benar blessing in disguise.
Pukul 10.05. Bus yang rutin menuju Osaka dan melewati Minatomachi yang merupakan stasiun shuttle bus untuk Kansai International Airport, sudah muncul di pertigaan depan eki. Busnya lebih cepat 5menit dari jadwal sebenarnya. Salim bersiap. Dihitungnya kembali jumlah koper serta barang bawaan lainnya. Perlahan dibangunkannya Fira dari tidur nyenyaknya. Dia menggeliat ringan. Sejak ditinggal Niar, Fira menjadi lebih pendiam dan terkadang bertindak lebih tua dari umur sebenarnya. Namun hal itu justru membuat semuanya menjadi lebih baik. Salim bisa berkonsentrasi lebih baik dari biasanya dan Fira sudah tidak lagi harus ditunggui dan dititip di Kimiko. Dia sudah bisa main sendiri bahkan belajar sendiri, walau terkadang Salim menitipnya juga di Kimiko untuk dapat belajar bersama dengan anak-anak Kimiko dan dapat belajar bersosialisasi dengan orang lain. Lamunan Salim terhenti karena Fira menarik-narik ujung jaketnya. Salim melongok ke bawah. Fira menunjuk bus yang telah berhenti depan mereka, Salim mengangguk mengiyakan. Fira tersenyum dan ikut-ikutan sibuk merapikan barang bawaannya sendiri, sebuah ransel mini berwarna biru. Tidak lama, semua barang bawaan kecuali ransel mereka berdua, sudah masuk ke bagasi bus. Salim menyuruh Fira naik duluan. Fira naik diantar seorang ibu yang juga kebetulan akan naik bus tujuan Osaka itu. Salim memandang sekelilingnya. Sebuah densha dari Hiroshima City baru saja selesai menurunkan penumpangnya. Namun tak ada satupun wajah yang dikenalinya. Semuanya mulai tampak asing. Dari arah SunSquare juga tidak dilihatnya ada rombongan orang-orang. Sepi. Salim tersenyum lega. Memang kesengajaannya untuk tidak memberitahukan siapapun akan kepulangannya hari itu. Salim merasa bahwa segala kenangan yang ada di Saijo, sebaiknya tetap di Saijo dan tidak akan pernah mengikutinya. Walau ada rasa sesal, namun hal ini jauh lebih baik. Daripada harus kembali melihat wajah teman-teman seperjuangan yang notabene akan meneteskan airmata. Tidak, tidak boleh lagi ada airmata. Tepukan ringan sopir bus dipundaknya, membangunkannya dari lamunan. Salim mengangguk berterimakasih. Bismillah, semoga semua kenangan tetap di Saijo; dan dia pun melangkah naik.
Pukul 10.10. Bus perlahan bergerak meninggalkan Saijo Eki. Hingar bingar yang biasanya terdengar kalau ada orang Indonesia yang pulang dengan bus ke Osaka, kali ini tidak ada. Yang ada hanya hentakan bunyi puluhan sepatu berlarian dari arah SunSquare. Serombongan orang-orang Indonesia hanya bisa tertegun dan meneteskan airmata melihat bus menuju Osaka bergerak pasti meninggalkan Saijo Eki. Salim ternyata benar-benar meninggalkan kenangannya di Saijo.

Saijo, 2 Agustus 2008

2 comments:

Nisful Laila said...

Pagi ini Saijo begitu kelabu, dingin...yang ada hanya mendung dan mendung.... membaca `Pulang` membuat hati terasa lebih kelabu...

Nice writing Kole..but someday, I hope u`ll write something colorful about Saijo, something cheerful, with laugh and joy... (something That I still looking for fr Saijo...hiks..hiks)

sAn said...

so saad... :-(
Ibu yg masih belum puas dengan kehidupan sebelum menikah...masih ingin mencapai cita2nya dulu...

Tapi memang situasi sperti itu masih banyak terjadi. dan sedih banget rasanya kalau pasangan kita lebih memilih kepentingannya pribadi, seolah2 kita merasa tidak berarti..