Saturday, January 26, 2008

Cepat ke sini, istrimu mau melahirkan!

“Cepat ke sini, istrimu mau melahirkan!”


Kalimat itu masih terus mengiang di telinganya. Terus dan terus. Kayuhan kakinya mendesak pedal sepeda tua pemberian Koichi Sensei, si empunya apato, tidak mampu mengusir gaungan kalimat itu. Hati Firman galau bukan main. Pasalnya, jadwal persalinan yang diberitahukan dokter waktu periksa di Motonaga tadi siang, masih lima hari lagi. Lima hari! Mengapa tiba-tiba bisa bergeser menjadi tengah malam seperti ini, geram Firman. Berkali-kali gemeretuk gerahamnya memecah sunyinya malam.


“Cepat ke sini, istrimu mau melahirkan!”


Kondisi jalanan samping rel kereta antara Seno dan Saijo yang naik turun mulai mengganggu kayuhannya. Memang tidak pernah disangkanya, Lina akan melahirkan malam-malam begini. Tahu begini mending bolos baito semalam, gerutunya. Walaupun demikian, kayuhan sepedanya tetap berirama, mengikuti kondisi jalanan. Kadang meninggi karena jalanan menurun, atau melambat karena mendaki. Jarak antara kedua stasion kereta yang diantarai Hatchihonmatsu Eki ini memang cukup jauh. Sehari-hari, tatkala baito dengan shift malam, Firman biasa menghabiskan sepuluh sampai limabelas menitan, untuk menempuh jarak tersebut. Itupun dengan densha. Bukan sepeda tua.


“Cepat ke sini, istrimu mau melahirkan!”


Degup jantung Firman mulai cepat. Maklum, tanjakan tercuram mulai dijalaninya. Gila, tanjakan ini lebih terjal dari tanjakan Kagamiyama Koen, batinnya. Walau sehari-hari dilewatinya, namun tidak pernah terlintas dibenaknya akan melintasi tanjakan ini dengan sepeda. Deru nafasnya sekarang mampu didengarnya jelas, tanda bahwa kelelahan yang amat sangat, mulai menggelayutinya. Jantung berupaya keras mengantarkan oksigen murni menuju paru-paru via darah, pikirnya. Dalam hati Firman tersenyum, mungkin beginilah sebuah perjuangan yang mesti dijalaninya. Teringat dia akan penjelasan guru biologi semasa SMA dulu.

“Partikel darah akan mengangkut atom oksigen yang cukup berat, naik turun pembuluh, dari pusat pengambilannya di hidung menuju paru-paru. Energi yang dibutuhkannya sangat besar kan? Untuk itu, tubuh memerlukan asupan energi yang cukup”.

Firman kembali tersenyum dalam hati. Mana bisa cukup energi, bekal bento dari Lina pun belum kusentuh, desaunya dingin.


“Cepat ke sini, istrimu mau melahirkan!”


Beberapa kayuh sebelum tiba di puncak, bunyi derak terdengar keras dari bawah. Firman mulai gelagapan. Terbayang dibenaknya, rantai sepeda tuanya itu putus. Dengan sigap, dituntunnya menuju tiang lampu pinggir jalan. Alhamdulillah, hanya lepas, syukurnya. Perlahan mulai dicobanya mengembalikan posisi rantai karatan tersebut ke tempat yang semestinya. Namun cuaca yang mulai mendingin memaksanya bekerja ekstra. Tangannya gemetar. Maklumlah, badai yuki yang kemarin menghantam Saijo masih menyimpan sisa-sisa. Walau jelas tak menimpa Seno, namun arahan angin dari gugusan gunung sekitar Saijo mulai ikut mendinginkan malam-malam di daerah ini.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya rantai berkarat pun kembali ke posisinya semula. Firman menyeka keringatnya dengan punggung tangan. Dingin. Ditatapnya langit. Satu demi satu butiran putih mulai berjatuhan. Yuki, gumamnya. Deru nafas yang tadinya cepat dan keras, perlahan melambat. Raut muka Firman berubah. Perlahan-lahan tertunduk. Diingatnya dengan jelas, tepat setahun yang lalu, seperti malam-malam begini, kala yuki turun, Lina meregang nyawa. Mukanya memucat. Pendarahan berat setelah pecahnya ketuban. Ah, Firman menengadahi langit. Diingatnya lagi tatkala genggaman Lina perlahan mengendur, pertanda mulai hilangnya tenaga. Dorongan untuk melahirkan hampir habis. Dokter pun mendesaknya mundur, meminta Firman bergerak menjauhi ranjang. Satu perawat memintanya keluar ruang persalinan. Secio, kami akan secio, kata perawat itu. Firman tidak bisa berbuat apa-apa. Sekilas dilihatnya sinar mata Lina melemah, seakan-akan berkata “Maafkan aku ….. maafkan aku”. Firman hilang keseimbangan. Hilang pegangan. Tubuhnya limbung. Dia terjatuh tepat di depan pintu kamar operasi.


“Cepat ke sini, istrimu mau melahirkan!”


Firman masih terduduk di bawah sinar lampu jalanan yang mulai temaram karena tertutup derasnya yuki. Lamunannya masih ke peristiwa itu. Diingatnya, tatkala siuman, begitu banyak teman yang ada disekelilingnya. Semuanya bermuka sedih. Semuanya memintanya untuk bersabar. Firman bergerak cepat. Ditepisnya semua tangan-tangan itu. Namun apa daya, tenaganya habis. Seorang teman membisiknya, “Sabar Fir. Relakan. Relakan. Ingat Allah ….”. Firman kembali melemas. Dia terduduk kembali. Tak berapa lama, dokter yang mendorongnya tadi, datang mendekat. Berbicara perlahan namun jelas. Lina selamat, namun bayinya tidak. Belitan tali pusar di leher menghantarnya kembali ke Sang Pencipta. Secio ternyata tidak mampu menyelamatkan nafasnya yang terlanjur terhenti. Firman tertunduk lemas. Air menganak dipipinya. Dibayangkannya betapa hancurnya hati Lina jika mengetahuinya. Betapa sulitnya perjuangan untuk bisa hamil. Betapa susahnya berjuang belajar di negeri orang sementara tetap harus membawa sang anak dalam kandungan. Sembilan bulan yang penuh perjuangan. Firman terisak. Beberapa teman merangkulnya, mengelus-elus punggungnya, memohonnya bersabar. Firman hanya bisa terisak.


“Cepat ke sini, istrimu mau melahirkan!”


Yuki masih sangat deras. Dingin yang diantarkan angin, menyadarkan Firman dari lamunannya. Walau gemeletuk giginya mengeras, tetap saja ditengadahkannya kepalanya menatap yuki yang dingin. Butirannya jatuh satu demi satu diwajahnya. Dingin yang terasa menyengat, seakan-akan dinikmatinya. Seakan-akan berusaha mengatakan, “Kami bisa bangkit kembali. Bisa”. Diingatnya, dukungan teman-teman sepenanggungan membuat Lina dan dirinya sendiri bisa bangkit dari kekalutan sedih. Memberikan semangat untuk bisa kembali hidup seperti sedia kala. Memberikan semangat untuk bisa kembali meniti hidup dan meraut rejang keluarga dengan berusaha kembali mempunyai anak. Firman mendesah panjang. Disapunya yuki dari wajahnya. Walau tidak seperti yang dibayangkannya, namun hari-hari seperti ini sebenarnya sangat dinantikannya. Hari dimana berita kelahiran anaknya sampai ditelinganya. Harus! Aku harus bersemangat, tegasnya mengepalkan tinjunya dan bergegas berdiri.


“Kriinnggg, kriinngg ……”


Keitainya berbunyi. Nyaring membelah sunyi malam. Firman terpana. Tangannya semakin gemetar. Gelagapan diraihnya saku jaket kanan.


“Kriinnggg, kriinngg ……”


Keitai Toshiba lama itu masih berdering keras ditangannya. Kenangan masa lalu itu kembali menggelayut kuat. Seperti memaksanya untuk jatuh. Namun dikumpulkannya kekuatan batinnya. Bismillah ….


“Moshi moshi. Firman desu” (Halo, Firman di sini)


“Haik. Motonaga byooin desu. Okosan ga umaremashita. Onnanoko desu...” (Di sini Rumah Sakit Motonaga. Anak anda telah lahir. Perempuan)


Firman terhenyak. Semua kenangan buruk yang tadi merongrong batinnya sontak hilang. Tanpa gurat tanpa bekas. Dingin malam pun lenyap. Tak terasa lagi. Sama sekali. Ah …… Firman mendesah panjang. Senyumnyapun mengembang lebar. Alhamdulillah ……


Saijo, 26 Januari 2008, 04.50

Dipersembahkan kepada ibu-ibu di Saijo yang baru saja melakukan tugas sucinya.