Friday, December 21, 2007

Kebun Jagung

“Gus .... Agus .......... Bantu emakmu ambil air nak”

Walau telah berulang kali didengarnya kalimat itu, Agus belum beranjak sejengkalpun. Kelumpuhan bapaknya akibat terjatuh dari pohon sukun hampir setahun lalu, membuat remaja tigabelas tahun itu menjadi pembantu utama ibunya, mencari nafkah dengan menjual bubur jagung di pasar. Selain air, sering pula ibunya menyuruh mencari bumbu-bumbu penyedap bubur jagung di hutan kecil sebelah timur lubuk. Dan benar saja, suruhan itu kembali terjadi.

“Gus, kalo sudah cukup segentong airnya, tolong juga cari juga bunga candu dan sedikit madu hutan”, teriak ibunya dari dapur. Agus yang sedari tadi masih setia di depan buku cerita yang dipinjamnya di sekolah, mendengus pelan. Dia ingat ajaran Ustad Umar, “Jangan pernah berkata ah pada ibumu, karena dosanya sudah cukup untuk membawamu menghuni neraka selama-lamanya”. Walau Agus bukanlah murid yang patuh pada guru, namun jika sudah ada kaitannya dengan neraka, pastilah dia tidak bertanya lagi. Akhirnya setelah merapikan buku cerita itu di atas meja, dihampirinya ibunya. Ibunya tersenyum, “Lagi membaca ya? Nantilah kau lanjutkan, tolong emak sebentar ya?” kata ibunya sambil menyorongkan gentong kecil dan keranjang bambu anyam. Agus cuma tersenyum. Dia tahu, walau hidup kesusahan, ibunya selalu sadar akan pentingnya pendidikan. Dia tidak mau tahu kalau Agus jauh lebih suka membaca buku cerita ketimbang buku pelajaran. Yang penting, buku! Karena menurutnya, buku apapun itu, asal kita mau membacanya, pastilah kita bisa menangkap maksudnya. Dan tidak ada buku yang mengajarkan kesia-siaan. Asal maksud dan tujuan buku tersebut benar-benar nyata dan dapat dipahami.

Tidak lama, Agus sudah ada di tepi hutan. Kalau dilihat baik-baik, walau tidak terlalu besar, hutan itu sebenarnya cukup menyeramkan. Beberapa teman Agus pernah hilang di sana. Orang-orang bilang, disembunyikan setan. Namun setelah beberapa lama, mereka yang hilang pasti ditemukan kembali setelah sehari atau dua. Sebenarnya ada rasa takut bergelayut di tengkuk Agus. Terakhir kali ke situ, walau hari masih siang menjelang sore, Agus mendengar percakapan yang amat ramai dari dalam hutan. Namun dia pun tahu, kalau tidak pernah ada orang yang tinggal dalam hutan itu. Makanya hari itu, Agus agak gemetar juga masuk ke hutan. Soalnya waktunya persis dengan kejadian terakhir kali ke sana. Kata orang, setan, dedemit atau apapun sebangsanya, paling suka mengganggu pada waktu-waktu yang sama. Hii ... ngeri juga, batin Agus.

Sepuluh langkah pertama, Agus masih hati-hati sekali. Butuh hampir tiga menit untuk sampai pada posisinya sekarang. Setiap dua langkah, ditajamkannya pendengarannya. Segala macam bunyi disaringnya. Ditelaahnya sampai yakin kalau itu hanya suara dedaunan yang bergerak tertiup angin. Setelah langkah terakhir, dirasakannya tidak ada kejadian yang mencurigakan. Napas lega mulai dihelanya. Mulai disesuaikannya matanya dengan keadaan sekitar. Daun, perdu sampai lumut, hijau. Ranting, batang pohon sampai akar muncul dan gantung, coklat. Kalau ada warna lain, pastilah burung atau serangga atau bahkan sampah. Sampah? Beberapa meter di sebelah kanan, ada sesuatu berwarna ungu kebiruan. Ungunya seperti ungu bungkusan deterjen bubuk yang banyak di pasar. Didekatinya benda ungu itu. Semakin dekat, semakin nyata kalau benda itu bukan sampah. Tapi seperti kain selendang. Diambilnya pelan. Benar, ternyata selembar selendang. Selendang? Siapa yang punya selendang? Perempuan mana yang berani masuk ke hutan ini? Agus menyernyitkan dahi, mencoba mengeliminasi siapa saja di kampungnya yang punya selendang seperti itu. Ibunya, tidak. Mbak Tiwil, tidak. Hmmmm .... tidak ..... tidak ... tidak .... Sudah terlalu banyak nama dan bayangan muka perempuan-perempuan yang silih berganti lewat di benaknya. Namun tidak ada satupun yang dapat membuatnya yakin. Ada satu dua, tapi mereka jelas tidak bisa masuk hutan, sudah terlalu tua. Hmmm, siapa ya? Masih dalam kebingungannya, mata Agus melihat lagi satu benda, sekitar empat meter ke arah depan. Warnanya keemasan. Segera Agus menghampiri. Tusuk konde dengan bentuk kipas kecil, lengkap dengan sederetan batu berkilau. Seperti berlian. Atau memang berlian? Selendang ungu diletakkannya di keranjang bambunya, sebelum meraih tusuk konde itu. Emas, tusuk kondenya dari emas, teriak Agus dalam hati. Wow, pastilah batu-batu itu juga berlian. Mata Agus mulai berbinar. Terbayang apa yang dapat dilakukannya dengan benda itu. Dia bisa periksakan bapaknya ke dokter, bantu jualan ibunya, bayar tunggakan uang sekolah. Bahkan mungkin bikin perpustakaan pribadi. Lengkap dengan buku-buku cerita pilihannya. Tapi....? Dahinya kembali berkerut. Ini kan bukan punyaku? Mana bisa aku ambil? serunya dalam hati. Jangan-jangan, barang-barang ini kepunyaan seorang wanita yang dibunuh kemudian mayatnya dibuang dalam hutan! batin Agus. Pernah didengarnya cerita tentang hilangnya seorang wanita juragan kain di pasar. Wanita itu tinggalnya di kampung sebelah. Tapi .. ah, itu kan sudah ketahuan kemana hilangnya. Kawin lagi. Agus tersenyum sendiri. Tapi kalau begitu, selendang dan tusuk konde ini punya siapa? Sambil berpikir terus, matanya melirik kesana kemari. Jangan-jangan ada barang lain lagi. Siapa tahu saja berharga? Kan bisa dipakai buat hal-hal lain! pikir Agus mulai serakah.

Selang beberapa menit, tak didapatnya apa-apa. Kakinya yang tadi gemetar dan hati-hati, mulai gampang melangkah. Perdu-perdu mulai disibaknya. Bawah-bawah pohon dikoreknya. Bahkan lumut pun dicabutnya. Tanpa dia sadari, sudah tengah hutan. Anehnya, jarak antar pohon semakin renggang. Angin yang biasanya dirasakan kalau berada di lembah, malah terasa di pipinya sekarang. Beralasankan heran dan ingin tahu, Agus melangkah terus. Sekitar lima belas meteran, langkahnya terhenti. Tak dipercayainya apa yang terpampang di depan hidungnya. Matanya menatap langsung ladang jagung yang sangat luas. Dengan jagung-jagung yang sudah siap petik. Bahkan ada beberapa yang sudah menyembulkan bongkolnya. Gemuk dan padat. Napas panjang kembali dihelanya untuk redakan detakan jantung yang semakin keras dan cepat. Segala perasaan bertumpuk menjadi satu. Agus berlutut. Matanya berkaca-kaca. Teringat betapa susahnya ibunya membeli jagung, mengolah kemudian menjualnya. Andai sudah diketahuinya ladang jagung itu sejak lama, pasti usaha ibunya sudah sangat maju. Ah ... Tuhan, Engkau Maha Adil. Tatkala kami sedang kesusahan, Kau turunkan bantuan-Mu untuk kami, doa Agus menengadahkan tangannya ke langit. Lepas dengan segala perasaan keingintahuan akan pemilik ladang, Agus berlarian di sela-sela pohon jagung. Dipetiknya dengan riang, jagung demi jagung. Tatkala tangannya penuh, dia kembali ke tempat dimana gentong air dan keranjang bambunya dia letakkan. Dilihatnya kembali selendang dan tusuk konde emas yang didapatnya tadi, tergeletak dalam keranjang. Agus menggeleng riang. Ditumpahkannya isi keranjang ke tanah. Diisinya keranjang dengan jagung-jagung itu. Setelah itu, dia berlari kembali memetik jagung demi jagung. Setelah penuh, kembali ditumpahkannya jagung-jagung itu ke dalam keranjang. Begitu seterusnya sampai hari hampir gelap. Sadar kalau hari sudah hampir malam, Agus berkemas tergesa-gesa. Gentong digantungnya di bahu kiri, sementara keranjang bambu digendongnya dengan kedua tangan. Karena berat, maka Agus tak bisa berlari-lari riang seperti suasana hatinya. Sempat terpikirkan sesuatu, namun sekejap terlupakan. Dia terlalu senang.

Lepas magrib, dia tiba di depan pintu rumahnya.

“Maaaak .... Emaaaaak. Agus pulang!” teriaknya. Terdengar langkah tergopoh-gopoh dari arah dapur. Muka lesu ibunya muncul dari balik kain gorden pembatas ruangan. Didapatinya Agus dengan sekeranjang penuh jagung. Besar-besar lagi. Agus tertawa-tawa. Namun ibunya tidak, tersenyumpun tidak.

“Dari mana jagung-jagung ini Gus?” tanya ibunya.

“Dari hutan Mak. Di sana ada ladang jagung yang luaaaas sekali. Lebih luas dari ladang Haji Toha di pinggir kampung yang terbakar setahun kemarin. Jagung-jagung di keranjang ini cuma secuil. Emak bisa bikin bubur sampai tiga bulan tanpa harus beli di pasar. Kan enak?” cerocos Agus lancar. Ibunya tersenyum arif, “Tapi jagung-jagung ini bukan punya kita kan, Gus? Apa Agus mau pembeli jajanan Emak makan barang haram? Jangan ya? Tolong kembalikan lagi jagung-jagung ini besok sebelum ke sekolah. Ya?”

Agus terdiam terpaku. Akhirnya tertunduk. Segala kegembiraan musnah seketika. Keinginan untuk menyenangkan ibunya, harus dikuburnya dalam-dalam. Sadar akan suasana kelu hati Agus, ibunya bertutur, “Rejeki setiap orang memang telah ditetapkan Tuhan, namun bukan dengan cara yang tidak benar. Setahun lalu Bapakmu pun dapat jagung seperti ini. Tapi dia tidak beritahu Emak. Dibakarnya di dapur tatkala tak ada orang. Waktu Emak tiba dari pasar, Bapakmu sudah terlentang tak bisa bergerak di lantai. Emak tidak mau itu terjadi padamu, Nak”. Agus termangu, “Jadi Bapak tidak jatuh dari pohon sukun?”.

Ibunya tersenyum menggeleng. Dielusnya kepala Agus penuh sayang. Kasih ibu memang penuh mukjizat. Agus pun mengerti, juga ikut tersenyum. Tanpa banyak kata, dibereskannya gentong air dan keranjang bambu yang dibawanya tadi. Peluh mengalir deras, namun kelegaan hati terasa lebih sejuk.

Masih pagi sekali. Setengah enam. Agus dengan seragam putih birunya, kembali menggendong keranjang bambunya yang penuh jagung. Lewati lubuk dan bergerak ke timur, masuk hutan. Langkahnya sudah tidak seperti kemarin. Sekarang sudah ringan dan bahkan dengan bersiul-siul. Namun tatkala mulai lewat tempat ditemukannya selendang serta tusuk konde emas kemarin, siulannya berhenti. Mulai didengarnya suara riuh rendah. Suara itu lagi. Suara yang membuatnya takut untuk masuk hutan sejak lama. Ramai sekali suara itu, pikir Agus. Teringat suara itu pernah didengarnya sebelumnya. Dicobanya mengingat-ingat kembali dimana dia pernah mendengar suara seperti itu.

Walau gemetar, kaki tetap dilangkahkannya. Sampai tepat di tempat ditumpahkannya selendang dan tusuk konde emas kemarin. Tempat dimasukkannya jagung-jagung itu kemarin. Sinar matahari mulai menerangi hutan. Ditolehnya ke samping. Selendang dan tusuk konde itu masih ada di sana. Namun hamparan jagung dalam ladang luas tidak didapatinya. Hanya batu-batu berwarna hitam yang menyembul satu satu. Nisan-nisan! Seketika muka Agus pucat. Dirasanya keranjangnya meringan. Sontak dilepaskannya keranjang bambu itu dari gendongan tangannya. Jagung-jagung itu sudah tidak ada lagi. Hanya dedaunan kering berwarna coklat. Menumpuk acak dalam keranjang. Mukanya bertambah pucat. Langkahnya meringan. Dia berbalik. Dan lari. Terus berlari. Dalam larinya, diingatnya kembali dimana didengarnya suara itu sebelumnya. Kebakaran besar yang melanda asrama pekerja, gudang dan ladang jagung Haji Toha, dua hari setelah panen setahun kemarin. Tak ada yang selamat.

Dimin

Kantin sedang ramai. Memang, sedang waktu makan siang. Antrian masih cukup panjang. Tubuh kecil Dimin masih terjepit di antara raksasa-raksasa mantan jagal kota itu. Biasalah, kalau antrian seperti ini, Dimin pasti terjepit. Memang, nomor urut napinya ada di antara nomor napi tukul, tukang pukul. Mereka itu bodyguard para napi kelas kakap. Entah itu disengaja atau tidak, yang jelas, Dimin selalu terintimidasi kalau antrian makan.

“Heh, lu lagi. Bikin panjang antrian aja. Cepetan sana! Ta’ sabet kon!”, gertak Jodul, Joni Gundul, sambil mengibaskan tangan. Dimin segera merapat ke depan, menaruh omprengannya di meja berjalan. Koki dan tukang bagi makan, mengernyitkan dahi menatapnya. Keringat dingin mulai membahasi overall Dimin. Dia paling tidak bisa ditatap dingin seperti itu. Jluk! Setangkup bubur jagung sudah di omprengannya. Dua buah perkedel jagung yang kelewat matang, juga sudah ada. Terakhir, sayur asem dengan sepertiga jagung. Tergesa-gesa, dia bergeser, seraya meraih gelas minum plastik berwarna biru di akhir meja berjalan. “Hei cunguk! Itu gelasku. Ambil yang lain!”, bentak raksasa di belakangnya. Dimin mengangguk takut. Diambilnya gelas yang berwarna kuning, kemudian bergegas ke ujung kantin, tempatnya biasa makan. Dimin baru dapat bernapas lega, waktu sudah duduk di meja itu. Paling tidak, selama jam makan, dia bisa tenang.

Sebenarnya Dimin bukanlah penakut. Dia juga termasuk penjahat yang cukup sadis. Empat orang yang dibunuhnya dengan sabit di depan orang banyak menjadi saksi nyata kesadisannya. Hanya satu alasannya, “Mereka menginjak-injak harga diriku”.

Awalnya, Dimin bekerja di kantor notaris yang mengurus surat keabsahan tanah. Bukan sebagai notaris, PPAT atau kerani? Dia hanya bertugas membersihkan seluruh ruangan, tatkala semua penghuni ruangan sudah pulang. Cleaning Service, istilah kerennya. Walau cuma CS, singkatan dari Cleaning Service, Dimin sebenarnya cukup terdidik. Lulusan terbaik SMEA di kabupatennya. Itu predikat pendidikan terakhirnya. Setelah itu, orang tua dan keluarganya angkat tangan. Akhirnya ke kota mencari peruntungan. Siapa tahu saja, saya bisa diterima bekerja di kantor sebagai juru hitung? Kan saya lulusan SMEA? Terbaik lagi, batin Dimin. Namun apa dinyana, ijazah SMEA serta piagam penghargaan Bupati, tidak mampu mengantarnya ke posisi yang diidamkannya. Menjadi CS akhirnya menjadi gantungan kehidupannya. Nasib, katanya selalu. Tapi kan saya menabung? Siapa tahu, tabunganku nanti cukup untuk sekolah lagi?

Awal perjalanan hidupnya sebagai napi terjadi di suatu sore di akhir tahun keenamnya di kantor itu sebagai CS. Kala itu, kantor sudah sepi. Seingatnya hanya tinggal dia, Romi dan Musikan. Dua yang terakhir, satpam. Keduanya berpos di dekat lift. Maklumlah, kantor notaris itu hanyalah sebuah kapling kecil di lantai 12. Walau begitu, ruangan dalam kantor cukup banyak. Kalau dijumlahkan semua, termasuk dua WC dan kamar mandi, ada empatbelas ruangan. Jumlah yang cukup fantastis untuk dibersihkan seorang CS dalam waktu kurang dari empat jam. Mulai dari pukul 18.00 sampai 22.00. Itu karena pukul 22.15, seluruh kantor dalam gedung harus sudah tertutup.

Ruang pertama yang akan dibersihkannya adalah ruang pimpinan notariat, Rahman Gurning, SH.,MH. Kunci diputar perlahan. Hei, kok lampu meja pak Rahman masih menyala? Pasti dia lupa mematikannya, batin Dimin. Dinyalakannya lampu besar yang bisa menerangi seluruh ruangan.

“Min”. Dimin terkejut. Dari balik meja, muncul pak Rahman dengan rambut teracak dan bersinglet. Lebih terkejut lagi tatkala di belakang pak Rahman, muncul seorang wanita dengan kondisi pakaian hampir sama dengan pak Rahman. Selintas Dimin memicingkan mata. Wanita ini kok sepertinya saya kenal ya?, tanya Dimin dalam hati.

“Sorry, Min. Aku kira kamu tidak jadi masuk hari ini”, kata pak Rahman sambil terus memperbaiki pakaiannya. “Ngng ... saya tetap masuk pak”, jawab Dimin tak berani menatap. Lewat ekor mata, diliriknya sesekali wanita itu. Kok sepertinya wajah wanita ini familiar sekali ya? batinnya sekali lagi. Tak dirasanya, pak Rahman sudah ada di sampingnya. “Min, lanjutkan kerjamu. Aku pulang. Ingat, jangan sampai lupa kunci pintunya kalau selesai!”, kata pak Rahman tanpa senyum sambil melangkah keluar bersama wanita itu. “Saya pak!”, jawab Dimin patuh. Begitu dua makhluk berlainan jenis itu keluar dari pintu, Dimin pun mengela napas panjang. Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah ...... berulang kali Dimin beristigfar. Namun sesaat kemudian, dia teringat tenggat waktu untuk selesaikan pekerjaannya. Dimin pun mulai membersihkan. Ruang demi ruang. Kurang lima menit pukul sepuluh, seluruh kantor telah dibersihkannya. Usai bersalin, dia pun pulang ke rumah kontrakannya di bantaran kali pinggiran kota.

Dua hari kemudian, gajian datang. Seperti biasa, Dimin datang ke kantor lebih awal. Menunggu bersama-sama Romi dan Musikan.

“Min, kamu bakal dapat kenaikan gaji lho. Sampe 200-an ribu!” seru Musikan serius. Dimin menoleh kaget, “Ah, yang betul mas. Mas tahunya dari mana?”. Musikan tersenyum penuh misteri, “Pokoknya beneran deh. Kamu lihat saja nanti”. “Hmmm, kalo mas berdua, naik juga?” tanya Dimin.

“Gak! Kita kan gak sempat mergoki bos dengan perempuan kiriman bos notariat yang di lantai 11 itu?” jawab Romi enteng.

“Hush! Kamu ngomong apa sih, Mi! Yang begituan gak dicerita sembarangan!” sikut Musikan. Romi merengut. Dimin mulai ingat dimana pernah dilihatnya wanita itu. Beberapa minggu lalu, waktu Dimin baru saja akan memulai pekerjaannya, dilihatnya ada rapat yang masih berlangsung di ruangan pak Rahman. Pintunya terbuka sejengkal, sehingga Dimin dapat langsung melihat siapa-siapa yang ada dalam ruangan. Ada empat orang. Dua orang berstelan jas lengkap, pak Rahman dan seorang wanita. Seorang dari yang dua tadi, dikenalnya sebagai pimpinan notariat di lantai 11.

“Begini pak Rahman, kalau Bapak dengan senang hati dapat bergabung dengan kami, pastilah karir Bapak bakal melonjak. Pak Rahman kan tahu, kami menangani kasus-kasus besar!” bujuk pimpinan notariat lantai 11 itu. Pak Rahman tersenyum. Dia mengangguk yakin. Mereka pun bersalaman.

“Gampanglah itu pak Rahman. Diatur saja. Kalau para pemegang saham itu masih gak mau gabung juga, carikanlah jalan supaya mereka mau. Terserah Bapaklah. Ya?”.

Itulah fragmen yang mengingatkannya akan wanita itu. Wanita itulah yang bersama pak Rahman dua hari lalu.

Benar kata Musikan, gaji Dimin naik 200-an ribu. Alhamdulillah. Tabunganku bisa nambah lagi, syukur Dimin. Memang, walau sudah enam tahun bekerja, gaji Dimin belum pernah dinaikkan. Tapi apa karena kejadian hari itu? Ah, memang sudah waktunya gaji saya dinaikkan, batin Dimin akhirnya.

Sebulan setelahnya, peristiwa itu pun terjadi. Bermula tatkala Dimin mendengar dari Romi, kalau kantor akan ditutup. Segala aset akan dialihkan ke kantor notaris yang ada di lantai 11. Sekejap Dimin terpaku. Kok seperti yang pernah dicuri-dengarnya dulu waktu itu? Apa orang-orang itu beneran mau membeli notariat ini? tanya Dimin dalam hati.

“Mas, kenapa bisa bangkrut? Setahu saya, kantor ini kan aman-aman saja. Malah banyak kasus-kasus yang masuk?” tanya Dimin ke Romi.

“Anu Min. Katanya ada dokumen yang hilang. Dokumen itu merupakan bukti pemilikan tanah yang sangat luas di sekitar Tangerang. Nah, dokumen itu katanya menjadi taruhan kelangsungan hidup kantor ini. Seperti jaminanlah, kalau di Pegadaian. Kalau sampai hilang, maka kantor ini harus bertanggung jawab sepenuhnya. Terus, setelah dihitung, ternyata segala nilai dan harga kantor ini, masih kurang dibandingkan dengan harga tanah itu. Makanya kantor ini dinyatakan bangkrut. Gitu Min!”, jelas Romi panjang. Dimin mengangguk mengerti. Ketika akan beranjak ke gudang CS, tangannya dipegang Romi.

“Eit ... ada lagi Min. Ini ada surat dari bos. Dia tadi nitip ke aku untuk diserahkan ke kamu. Nih”, kata Romi sambil menyodorkan surat ke Dimin. Karena rasa ingin tahu, Dimin segera membuka surat itu. Surat itu cukup pendek. Pelan dibacanya dalam hati.

“Yang terhormat Sudimin. Seperti yang kamu ketahui, kantor ini memerlukan pembiayaan yang lebih baik untuk berkembang. Untuk itu, kantor ini harus bergabung dengan kantor lain yang lebih bonafid. Tapi kami memerlukan kamu untuk jadi sebab. Kamu akan kami tuduh menghilangkan dokumen penting kantor, sampai-sampai kantor ini bangkrut karenanya. Jangan takut, paling-paling kamu akan dipenjara setahun, mungkin kurang. Namun, yang jelas kamu akan kembali kami pekerjakan di kantor yang baru. Itu lho, kantor yang di lantai 11. Nanti setelah kerja di sana, gajimu akan dinaikkan berlipat-lipat dari sekarang. Aku janji deh! Ok ya? Trims. Rahman”.

Mata Dimin memerah. Serasa timah panas dijerang di ubun-ubunnya. Tanpa banyak kata-kata, dilakukannya semua pekerjaannya.

Esoknya, Dimin datang siang hari. Romi dan Musikan tidak curiga sama sekali. Mungkin ada yang harus dilakukannya, berkenaan dengan surat dari pak Rahman yang kemarin, pikir mereka. Apa yang mereka pikirkan, benar adanya. Hanya saja tidak senegatif apa yang akan Dimin lakukan.

Dengan muka merah, Dimin masuk tanpa ketuk. Dihampirinya pak Rahman, yang sedang memimpin rapat. Diraihnya sabit dari dalam tas jinjing yang dibawanya sedari tadi. Diayunkannya ke leher pak Rahman. Bet! Darah mengucur deras. Tak ada suara. Semua peserta rapat terpaku ditempatnya. Tak ada yang berani menolong pak Rahman yang sudah rubuh bersimbah darah. Ditatapnya mata pak Rahman lekat-lekat dengan benci. Setelah puas, dibalikkannya tubuhnya keluar ruangan. Orang-orang yang dilewatinya tak ada yang bersuara. Semuanya terdiam. Sabit berlumuran darah masih digenggamnya. Dimin turun ke lantai 11 lewat tangga darurat. Kantor notaris yang dipimpin orang berstelan jas itu, dimasukinya. Juga tanpa ketuk. Sesaat dia berhenti, kemudian melangkah ke ruangan berdinding kaca di sebelah kiri pintu besar. Dalam ruangan itu ada tiga orang yang dulu pernah dilihatnya di ruangan pak Rahman. Dua orang berstelan jas dan wanita itu. Mereka sepertinya sedang bercengkrama sambil minum-minum. Dimin menendang pintu. Sambil melompat, diayunkannya lagi sabitnya. Pertama ke arah pimpinan kantor. Kedua, ke arah teman pimpinan kantor. Keduanya segera roboh bersimbah darah. Wanita itu berteriak histeris. Namun hanya sekali. Lima detik kemudian, dia pun jatuh dengan darah membanjiri blusnya. Napas Dimin yang semula memburu, perlahan-lahan mulai mereda. Tubuhnya mulai terasa lelah teramat sangat. Sabit penuh darah masih digenggamnya. Lututnya melemas. Matanya nanar. Perlahan tubuhnya melunglai. Sesaat kemudian, Dimin terjatuh. Hilang kesadaran. Pingsan. Masih dengan sabit di tangan.

“Hei buluk! Lo duduk di tempat gue! Minggir sana!”.

Dimin tersentak sadar dari lamunannya. Di depan mejanya sudah sedemikian banyak tubuh besar berdiri. Seperti menantang. Jodul yang tadi membentaknya, berdiri paling dekat dengan mejanya. Dimin tertunduk. Diingatnya lagi betapa seringnya dia diperlakukan seperti itu. Sudah sejak hari pertamanya di LP. Bayangkan! Empat tahun dengan setiap harinya dianggap sampah oleh orang-orang yang juga sampah masyarakat. Darahnya mulai mendidih. Dikepalkannya tangannya, mencoba menenangkan diri.

“Cepetan minggir!” bentak Jodul lagi. Lepas bentakan itu, Dimin loncat. Dicengkeramnya leher Jodul dengan kuat. Titik simpul saraf di antara telinga dan tulang rahang lelaki raksasa itu, ditekannya kuat-kuat. Akhirnya, Jodul jatuh berlutut. Lemas tanpa ada perlawanan berarti. Sendok yang sedari tadi masih dipegangnya, diarahkannya ke mata Jodul. Dimin pun berteriak lantang ke arah serombongan raksasa-raksasa lainnya, “Hei, saya Dimin. Saya bukan cecunguk-cecunguk seperti kalian. Tukang tindas sesama demi uang. Saya juga bisa kejam. Mata temanmu ini pasti bisa jadi saksi”. Tak ada suara. Semuanya berhenti makan. Menatap takut ke arah Dimin. Sampai-sampai ada yang kencing celana, termasuk Jodul yang masih tergeletak tak ada daya.

“Ampun Min. Aku cuman main-main kok”, kata Jodul terbata-bata menahan sakit. Cengkeraman Dimin melonggar. Dihelanya napas panjangnya berulang-ulang. Diingatnya kembali peristiwa itu. Dua jenak kemudian, leher Jodul pun dilepasnya. Sendok itu pun sudah dibuangnya ke lantai. Dimin pun berdiri tegak. Ditatapnya muka mereka satu persatu. Terpancar ketakutan yang amat sangat dari mata mereka. Dimin tertunduk lagi. Dirasakannya beban itu sekali lagi. Bukan tatkala sabit itu diayunkannya berkali-berkali, namun saat darah sudah melingkupi seluruh permukaan sabit. Walau berat, Dimin kembali menegakkan kepalanya, tidak lagi tertunduk lesu. Dia berjalan tegap keluar kantin. Seluruh mata tanpa kedip menatap setiap langkahnya. Tiba di luar, ditolehnya ke arah kanan. Lima belas meter dari tempatnya berdiri sekarang, ada gerbang. Besar, tinggi dan kokoh. Gerbang menuju dunia bebas. Gerbang yang ingin sekali dilewatinya enambelas tahun lagi. Insya Allah, senyum Dimin penuh arti.

Andani dan Irwan

Andani melongok ke dalam dompetnya. Tiga lembar lima puluh ribuan dan selembar duapuluhan. Sudah tanggal limabelas, pertengahan bulan. Ah, kenapa Gayah baru beritahu aku sekarang?, batinnya.

Dibacanya sekali lagi surat istrinya itu. Imah butuh duaratus ribu supaya bisa ujian kenaikan kelas, Dan. Kalau tidak, dia bisa tinggal kelas karena tidak ujian. Begitu tulis Rugayah.

Sekali lagi dilongoknya dompet. Cuman seratus tujuhpuluh. Kalaupun semuanya dikirimnya ke kampung, jumlahnya belum lagi cukup. Ah Gayah, dimana lagi harus kucari tambahan uang?, rintihnya resah. Dihelanya napas panjang. Langit Jakarta di bulan Juli yang penuh asap, ditatapnya nanar. Ingatannya melintas tatkala Imah lahir, walau dengan upah menggergaji kayu di usaha mebel Haji Abdullah yang hanya tiga puluh ribu perbulan, dia mampu membuat kenduri kecil-kecilan di gubuknya. Seekor kambing yang lumayan gemuk menjadi saksinya. Tapi itu sepuluh tahun lalu. Sekarang gajinya sudah lima kali lipat dari yang dulu. Belum lagi kalau lembur sampai jam sepuluhan malam. Rata-rata bisa dapat duaratus limapuluh sebulan. Tapi ini sudah tanggal limabelas. Ah Gayah, kenapa baru beritahu aku sekarang? rintih Andani membatin.

Sebenarnya SPP Imah yang sudah di kelas lima SD, tidak sebanyak itu. Tapi Rugayah tidak pernah mau memberatkan suaminya. Dia tahu, suaminya hanya bergaji sedikit. Makanya tiga tahun lalu, diputuskannya untuk berjualan kue-kue di terminal. Walau tidak banyak, tapi cukuplah meringankan. Tapi sejak terminal itu pindah menjauh, jumlah kue-kue yang laku menurun drastis. Sopir-sopir dan portir-portir yang rajin membeli dagangannya, tidak ada lagi. Pernah dicobanya untuk berjualan depan SD Imah, namun gagal juga. Malah kue-kuenya banyak yang basi, karena sering dijual sampai lebih sehari. Akibatnya Imah, anaknya semata wayang itu, harus menunggak SPP hampir setahun. Kalau seandainya tidak lagi terbayar, entah bagaimana lagi. Tapi kalau sampai tidak terbayar, Gayah yakin Imah bakal jadi seperti dia. Hanya tahu disuruh, tanpa bisa menjadi penyuruh. Mungkin malah hanya akan tahu dua UR, dapur dan kasur. Gayah tak akan pernah mau itu terjadi. Makanya diberanikannya menulis surat itu ke suaminya. Paling tidak, Andani akan mencarikan jalan yang kemungkinan Gayah tidak tahu. Namun sekarang, di halte bus itu, Andani masih duduk lemas sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Belum bisa menemukan jalan itu.

Waktu berlalu. Dhuhur tiba. Andani masih di halte. Duduk berpayung atap-atap bocor, bersama empat orang lainnya. Seorang di antaranya sejak setengah jam lalu, selalu melirik ke Andani. Orangnya sedang-sedang, baik tinggi maupun lebar badannya.

“Hai kawan. Kamu dalam kesulitan ya?”, ujarnya sopan membuka pembicaraan. Andani menoleh, kemudian mengangguk pelan. “Soal uang ya?”, lanjutnya lagi. Andani mengangguk lagi. Kali ini tidak lagi menoleh, malah semakin menunduk. “Aku bisa membantumu kawan. Di ranselku ini, ada uang. Banyak. Banyak sekali. Bisa kamu pakai untuk apa aja. Mobil dan rumahpun bisa kamu beli. Tidak perlu pinjam. Kamu hanya perlu memban ...”. Andani menoleh keras. “Saya memang butuh uang. Tapi saya bukan pengemis. Saya hanya butuh pinjaman. Insya Allah, bulan depan saya lunasi. Bapak cukup berikan alamat, saya akan antarkan pinjaman itu”, kata Andani sungguh-sungguh.

Orang itu tersenyum ramah. Diambilnya tempat di samping Andani. Diraihnya tangan Andani. “Namaku Irwan, kawan. Kamu?”, tanyanya. Andani tersenyum menimpali sambil menjabat tangan yang tersodor kepadanya, “Saya Andani”.

“Andani, nama yang bagus. Kalaupun aku nanti berkeluarga, punya anak, nama itu pasti menjadi pilihan utamaku”, kata Irwan bersohor. Andani cuma tersenyum getir. Diingatnya cerita ibunya perihal namanya itu. Seorang yang berhasil menggagalkan perampokan begundal-begundal PKI di kampungnya semasa era 50-an mengilhami ayahnya untuk menamainya Andani. Namun menurut cerita, Andani itu kemudian tewas oleh pistol sahabatnya sendiri yang telah berubah menjadi antek PKI. Kematian yang tragis.

“Begini Andani. Kamu kan butuh uang. Aku tidak perlu tahu berapa yang kamu butuh. Satu juta? Sepuluh juta? Seratus juta? Atau berapa saja? Yang penting uang, maka aku akan memberimu uang. Tidak perlu kamu pinjam. Cukup kamu bantu aku untuk selesaikan satu masalah. Ah, bukan masalah sebenarnya. Hanya satu kerjaan kecil. Bagaimana?”

“Ah pak Irwan. Saya ini orang kecil. Uang sejuta juga belum pernah saya lihat, apalagi pegang. Saya juga tidak butuh banyak. Cuman 50 ribu. Itupun saya hanya mau pinjam. Insya Allah akan saya kembalikan bulan depan. Kalau memang ada kerjaan yang saya bisa bantu, monggo pak. Aku insya Allah bisa membantu. Tinggal bilang apa kerjaannya pak”.

Irwan melongo. Mulut di bawah kumis acaknya, menganga. Dalam hatinya dia membatin, kok ada orang yang lugu kayak ini?

“Nggak Andani. Sekali lagi kamu gak perlu pinjam. Jumlahnya juga tidak akan segitu kecil. Masa’ sih aku ngasih kamu hanya 50 ribu? Itu kan penghinaan! Gak, aku akan ngasih kamu seratus juta. Kamu cuma perlu naruh barang ini di pasar itu. Di jalan masuknya itu lho. Bagaimana?”, bujuk Irwan sambil memperlihatkan bungkusan coklat rapi dalam kantung plastik yang dijinjingnya sedari tadi.

“Wah pak Irwan. Sekali lagi maaf. Bukannya saya gak mau kerja, tapi uang seratus juta yang entah gimana bentuknya itu, kan tidak seimbang dengan kerjaan saya nanti itu? Makanya pak Irwan, kalau bisa saya minjem aja. Cuman 50 ribu to’!”

Irwan mulai tidak sabar. Dicobanya lagi membujuk Andani dengan uang yang lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung. Andani ditawarinya 250 juta kontan. Andani semakin bingung. Semakin tidak mengerti mengapa Irwan berusaha membujuknya dengan uang yang lebih banyak. Karena semakin bingung, Andani yang hanya tamatan kelas 5 SD itu, mulai merasa kepalanya sakit. Pusing. Garuk-menggaruk kepala sambil mengernyitkan kening, mulai dilakoninya lagi. Tak ada suara keluar dari mulutnya. Irwan semakin tidak sabar.

“Ah sudahlah. Kalau kamu gak mau, ya sudah. Nanti aku cari orang lain. Masak ada orang nolak rejeki nomplok? Bodoh!”, maki Irwan sambil bergegas meninggalkan Andani.

Andani menatap punggung Irwan. Baru disadarinya kalau komentarnya membuat Irwan meninggalkannya. Cepat-cepat diburunya.

“Pak, jangan gitu dong. Biarlah saya kerjakan permintaan Bapak. Tapi saya memang cuman butuh 50 ribu. Untuk ongkos sekolah anakku. Cuman segitu pak. Ijinkan saya meminjam pak. Sekali ini saja. Tolong pak ....”

Muka Irwan tidak berubah. Walau sempat debar jantungnya mengeras dan hati kecilnya mengiyakan, tapi dia tetap tidak mau. Ditepisnya tangan Andani dengan keras, kemudian bergegas meninggalkan Andani. Andani pun tak mau kalah. Dalam pikirannya, mungkin hanya ini satu-satunya jalan untuk dapat membahagiakan Imah dan Gayah. Satu-satunya cara untuk menjadikan Imah tidak seperti Gayah dan dirinya, yang selalu hanya bisa ditindas oleh zaman. Akhirnya Andani berlutut, dipeluknya kaki Irwan erat.

“Mohon pak. Tolong saya pak. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Saya harus bisa membantu anak saya pak. Bapak satu-satunya harapan saya ...”, isak Andani sambil terus memeluk kaki Irwan.

“Heh, sudah. Orang tidak tahu diri. Ditawari uang banyak, malah nolak. Nih, 50 ribu. Pergi sana!”, hardik Irwan sambil melemparkan selembar 50 ribu ke dekat Andani. Andani bangkit, diraihnya uang itu. Dengan cepat, disambarnya plastik tempat bungkusan itu.

“Terima kasih pak. Saya memang orang kecil, tapi saya harus tahu berterima kasih. Saya akan laksanakan perintah Bapak. Di pasar ujung jalan itu kan? Di jalan masuknya? Insya Allah pak. Saya juga sudah janji hanya akan meminjam. Bulan depan kita ketemu lagi di sini, dan saya akan membayar hutang saya ini pak. Terima kasih pak”. Andani berjalan menjauh. Tangan kirinya menggenggam selembar 50 ribu dan kanannya menenteng plastik hitam berisi bungkusan coklat segiempat. Mulut Irwan kembali menganga. Semuanya terjadi begitu cepat. Tak dipercayanya apa yang barusan terjadi. Perlahan dua butir air menganak dari lubang di rongga matanya, menyaksikan punggung Andani yang menjauh. Irwan terisak. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Andani. Hatinya riang. Dibayangkannya Gayah dan Imah tertawa menerima uang yang akan dibawanya besok. Andani tertawa.

Hari ini, sehari setelah Irwan terisak dan Andani tertawa, sebuah bom meledak di pasar. Puluhan tewas dan ratusan terluka. Orang-orang menangis. Termasuk Irwan yang sedang berjalan menjauhi pasar, menuju pos polisi di seberang jalan. Terbayang di benaknya, Andani sedang tertawa dengan istri dan anaknya di rumah. Bersyukur kepada Allah yang Maha Pemurah karena telah dipertemukan dengan orang yang memberinya pinjaman 50 ribu. Irwan tidak lagi terisak. Dia bahkan tersenyum lebar tatkala masuk ke pos polisi itu.

“Saya yang meledakkan bom di pasar itu”, katanya mantap sambil memberikan tangannya untuk diborgol.

Deden Mati, Minah ....

“Dor ... dor ...”

Dua letusan pistol memecah subuh. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu. Entah siapa lagi yang mati. Yang jelas sepertinya dari komplotan yang sama. Belakangan ini memang sering sekali terjadi penembakan-penembakan preman di daerah selatan kota. Sepertinya ada pemberantasan premanisme lagi. Masih ingat kan dengan kejadian beberapa tahun lampau di Jakarta? Tatkala mayat preman selalu ditemukan teronggok di dekat bak sampah, bawah jembatan atau bahkan di salib depan SD, dengan kepala tertembus peluru? Mengenaskan. Namun sekaligus melegakan. Buat sebagian orang tentunya.

Subuh itu berbondong-bondong orang menuju belakang pasar. Seperti tak mau kalah dengan yang selainnya untuk melihat muka siapa lagi yang bakal menghiasi halaman depan surat kabar sore nanti atau berita utama di televisi. Alhasil, sebentar saja, pelataran parkir belakang pasar tradisional itu, penuh sesak dengan orang-orang.

“Siapa? Siapa?”, tanya beberapa orang di lingkar terluar kerumunan. Dari arah depan, terdengar suara menyahut, “Sepertinya sih si Deden. Tuh, kan ada tatto mawar di tangan kanannya. Mana lagi rambutnya yang cepak itu!” Sebentar saja, dari seluruh penjuru kerumunan, terdengar gumaman-gumaman menyebut-nyebut nama Deden. “Ah, bukan Deden deh. Kalo Deden, mestinya otaknya gak ada yang terlempar keluar! Pan Deden gak punya otak!”, timpal seseorang. Sontak orang-orang pada tertawa. Namun sebagian hanya tertawa kecut. Utamanya seorang dengan postur tinggi besar, berkumis lebat, memakai pet dan berjaket kulit. Mukanya terlihat gelisah. Perlahan diingsutkannya tubuh besarnya keluar dari kerumunan, kemudian berjalan tergesa ke arah utara pasar.

Tak lama dia berjalan. Kira-kira dua ratus meter dari pasar, dia berbelok ke kanan, menuju pemukiman kumuh di seberang bantaran kali. Pada rumah kelima dari ujung gang ke tiga dari perempatan, dia berhenti. Rumah tua berdinding kusam. Dibukanya pintu perlahan, seperti tak ingin ada yang terbangun.

“Dari mana Bang? Kata mang Ujang, ada yang mati lagi ya? Di mana?”, tanya seorang perempuan berkain sarung dengan kaos tanpa lengan, dari dipan di dekat jendela. “Iya. Si Deden”, sahut si tinggi besar sambil melongok ke luar jendela. “Lho? Kang Mahdi, Deden ponakanmu?”, tanyanya lagi dengan nada tinggi. Mahdi menatap marah Minah, istrinya,”Ya iya! Deden siapa lagi yang aku kenal di sini kalo bukan Deden ponakanku? Sudah, jangan banyak tanya lagi. Urus anakmu sana. Mereka sebentar lagi bangun. Hari ini kan mereka sekolah?” Minah tertunduk. Dia tahu, pikiran suaminya sementara kalut. Bagaimana caranya membawa pulang Deden ke Banten, sementara untuk makan saja sulit. Atau jangan-jangan .......

“Kang! Jangan marah. Minah hanya tanya. Kalau memang sulit membawanya pulang ke kampung, kenapa tidak dikabari saja Bapak dan Ibunya. Biar mereka yang datang ke sini. Kalau begitu, kan Kang Mahdi bisa menghemat biaya pemakaman Deden?” bela Minah. Mahdi hanya bisa menatap istrinya nanar. Kegundahan jelas terpatri di matanya. Terbayang Deden sewaktu kecil dalam pangkuannya. Apalagi ketika diajaknya Deden ke kota untuk mengadu nasib sebagai kuli bangunan di proyek-proyek. Sebenarnya Lijah, ibu Deden, sudah melarangnya. “Eh Lijah, mana mungkin atuh anakmu kutelantarkan? Percayalah, anakmu akan sukses di kota bersamaku”, teguh Mahdi waktu itu.

Mahdi semakin tertunduk. Satu demi satu, air matanya jatuh. Minah hampir tak percaya melihatnya. Sejak Umay, anak perempuan mereka yang pertama, lahir, tidak pernah lagi disaksikannya suaminya itu menangis. Perlahan didekatinya Mahdi. Dipeluknya hangat bahu suaminya. Dirasakannya getaran hebat di dada Mahdi. Membuatnya semakin mempererat dekapannya. Tiba-tiba Mahdi berontak. Dilepaskannya dekapan Minah. Ditatapnya mata istrinya itu nanar.

“Aku .... aku yang membunuh Deden, Minah. Walau bukan aku yang menarik picu pistol yang memuntahkan peluru menembus kepalanya, tapi aku yang memberitahu mereka kalau ada sekelompok orang yang menolak pindah dari pasar. Aku yang memberitahu tempat kumpul-kumpul anak-anak pasar itu. Kuberitahu juga kalo Dadang yang menjadi pimpinan anak-anak itu. Kamis lalu, Dadang mati. Kemudian Soleh. Sekarang .... sekarang Deden. Kenapa mesti Deden, Minah? Kenapa? Anak itu belum tujuh belas! Tatto itupun baru dua minggu lalu dibuatnya. Ah ..... kenapa mesti Deden .....”

Minah terperangah. Apa hubungannya Mahdi dengan pembunuh Deden? “Mereka itu siapa Kang?”, tanya Minah heran. Mahdi kembali menatap istrinya. Kali ini dengan muka ketakutan. Dilongoknya jendela, lalu ditutupnya rapat-rapat. Pintu pun demikian. Setelah merasa aman, didekatinya istrinya, “Jangan kau keras-keras bicara Minah. Mereka ada dimana-mana. Kalau mereka mau, kita dengan gampangnya dibunuh. Tak ada yang bakal protes”.

Minah bertambah heran. Namun sebelum Minah kembali bertanya, Mahdi sudah menjawab duluan, “Mereka menginginkan pasar itu pindah. Mereka mau menggantikan pasar itu dengan pusat pertokoan sebesar mal. Mereka sudah pernah mencoba membakar paksa pasar, namun komplotan si Dadang dapat mematikan apinya. Bahkan sempat menghajar anak buah mereka sampai parah. Namun mereka tidak sempat mengenali siapa-siapa di komplotan si Dadang itu. Akupun diminta untuk memberikan gambaran fisik mereka satu persatu serta dimana mereka sering mangkal. Kebetulan, waktu itu anak-anak butuh pakaian dan uang sekolah, tapi aku tak punya uang. Mereka pun menawarkan bantuan untuk menutupinya. Aku terima, aku terima uang itu Minah! Tak pernah kusangka mereka akan sejauh itu bertindak. Aku salah Minah ...... salah ..... penjahat aku ini. Pembunuh .......”. Mahdi menangis terduduk di lantai. Minah pun ikut duduk. Menyapu punggung suaminya dengan kasih, “Sudahlah, yang penting kan bukan Kang Mahdi yang membunuh .......”

Sekonyong-konyong pintu diketuk. Minah kaget. Bangkit dan langsung membuka pintu. Disangkanya orang-orang yang membawa mayat Deden.

“Selamat pagi. Kami dari Kepolisian. Apakah bapak bernama Mahdi?” tanya polisi berseragam lengkap sopan. Mahdi mengangguk. “Kami punya surat penangkapan saudara. Saudara Mahdi, anda didakwa telah mengadakan pembunuhan terencana atas saudara Dadang dan Soleh. Kami akan membawa saudara ke markas untuk pengambilan keterangan lebih lanjut”. Minah tersentak.

Tanpa uzur, dari arah ruang tengah muncul Umay menenteng sesuatu sambil menggosok-gosok matanya, “Abah, ini teh pistol siapa?” Mahdi menoleh lirih ke Minah, “Maafkan aku Minah. Tapi bukan aku yang membunuh Deden”.

Minah pun pingsan.

Obrolan Dua Guling

“Pak Suminta baru saja beristri kembali, setelah hampir empat tahun ditinggal mati istrinya. Memang, tanpa anak dan usia yang masih tergolong muda membuatnya harus berusaha untuk mencari istri lagi. Paling tidak, urusan dapur dan kasur, tidak membuatnya kelimpungan.

Alhasil, setelah mencari hampir setengah tahun, didapatkannya orang yang mau menjadi istrinya. Lilis namanya. Seorang pegawai bank dengan penghasilan lebih dari cukup. Pokoknya, hampir sebaik posisi dan gaji pak Suminta sebagai pegawai perusahaan swasta, dengan tingkatan manajer operasional. Dengan kata lain, urusan dapur tidak bakalan menjadi halangan.

Setelah urusan adat dan lainnya selesai, maka terselenggaralah pernikahan kedua pak Suminta dengan perawan tingting bernama Lilis itu. Resepsinya cukup meriah. Dihadiri banyak handai tolan serta kerabat dan teman-teman sejawat mereka. Semuanya, paling tidak, hampir semuanya merasa bahwa memang sudah sepantasnya pak Suminta mempersunting Lilis dan demikian pula sebaliknya. Pokoknya, all out, tidak ada masalah yang akan menghalangi perjalanan kehidupan mereka.

Pesta usai, tibalah malam pertama mereka. Pak Suminta yang memang sudah pernah menikah, bertindak sebagai guru yang dengan sabar membimbing istrinya, yang memang masih tingting. Malam itu mereka jalani dengan baik dan penuh dengan rona kepuasaan dari keduanya. Lilis menangis haru tatkala semuanya usai, dengan kesadaran bahwa kehidupannya sudah berubah dengan status sebagai istri, di atas kertas dan juga di atas kasur. Sementara pak Suminta, sujud syukur kepada Tuhan, karena ternyata dia telah dikaruniai lagi istri yang akan bersamanya menghadapi segala tantangan kehidupan di hari depan.

Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan. Akhirnya tak terasa, sudah setahun mereka bersama dalam mahligai perkawinan. Namun, walau keduanya masih cukup muda, mereka belum dikaruniai anak. Keduanya kemudian berusaha mencari jalan lain. Mulailah mereka berkonsultasi dengan dokter. Ikut terapi kehamilan. Malah sesekali jalan-jalan ke dukun-dukun untuk mencoba alternatif lain. Namun memasuki tahun ketiga, anak tak kunjung tiba. Pada saat bersamaan, perusahaan swasta tempat pak Suminta bekerja, mengadakan perluasan daerah kerja dengan membentuk cabang-cabang di beberapa kota yang berpotensi menjadi pusat domisili klien. Pak Suminta, sebagai manajer operasional, dituntut untuk bekerja ekstra. Hasilnya, kadang hanya dua hari dalam seminggu dia bisa pulang dan bermalam di rumahnya. Demikian pula halnya Lilis. Bank swasta tempatnya bekerja mengadakan peremajaan pekerja. Beberapa pegawai yang tidak mampu lagi bekerja seiring dengan misi dinamis perusahaan, terpaksa dirumahkan; sehingga karyawati rajin, teguh dan ulet seperti Lilis akhirnya ketiban durian runtuh. Dia dinaikkan menjadi manajer umum perkreditan. Sungguh suatu jabatan yang cukup bergengsi. Namun konsekwensinya, setiap hari dia harus pulang paling lambat. Jadilah Lilis menjadi tukang kunci pagar rumah kalau tengah malam tiba. Malah terkadang, suaminya lebih duluan tiba di rumah. Sudah ngorok lagi. Akhirnya setelah tahun ketiga usai, pertemuan mereka hanya terjadi sesekali saja dalam sebulan. Sungguh sebuah cerita mengenaskan”, akhir si Guling Kanan.

“Hei hei, sudah-sudah itu ceritamu Kanan”, potong Guling Kiri. Guling Kanan yang sedari tadi bercerita dengan lantang, lugas dan penuh ulasan-ulasan, menoleh ke kiri, terus menimpali, “Ini juga sudah selesai. Emangnya ada cerita lain? Pan sekarang kita sudah bekerja lagi. Dulu, waktu majikan kita, pak Suminta ini masih beristrikan Dewi, kita kan tidak pernah terpakai? Mana pernah mereka butuh kita? Meluk kita? Wong mereka itu, begitu naik ke ranjang, langsung pelukan. Syukur-syukurlah mestinya kita sekarang. Jadi, jangan marah begitu kalo aku kepanjangan ceritanya”.

Si Kiri tepekur, “Benar juga katamu ya? Selama majikan kita beristri kembali, kita malah jadi berfungsi. Tapi apa mereka seneng meluk kita gak ya?”.

Belum habis obrolan keduanya, pak Suminta dengan muka lusuh dan loyo masuk ke kamar, langsung naik ke ranjang dan mengambil si Kiri. Dia baru saja menyelesaikan harinya yang melelahkan dan penuh rapat-rapat. Terasa seluruh tubuhnya dirampas waktu dan orang-orang. Akibatnya, kepalanya lelah, kedua tangan dan kakinya capek serta seluruh indranya tak punya daya lagi untuk mencerna keadaan lingkungan. Dimana pun lingkungan itu.

Tak lama kemudian menyusul Lilis, dengan tubuh kepayahan dan kelelahan yang amat sangat, juga langsung mengambil si Kanan. Bank swasta tempatnya bekerja memang telah menghadiahinya jabatan penting dan bonafid. Namun seharian tadi, segala kemampuannya diuji dengan membludaknya kendala kreditur yang bermasalah dan memacetkan cash flow bank secara global. Akhirnya, segala kecerdikan, kemampuan bernegosiasi serta ketahanan tubuh akan deraan fisik maupun psikis, membuatnya kecapekan. Pukul 10.25 malam, baru dia dapat mengunci pintu gerbang rumahnya.

Sekarang, keduanya ada di atas ranjang. Beradu punggung. Tanpa suara. Hening. Bahkan suara napas mereka sendiri.

Sepuluh menit, duapuluh; mendekati setengah jam, mulai terdengar isak kecil. Perlahan-lahan mengeras dan semakin mengeras. Lilis berbalik. Ternyata pak Suminta sudah berbalik juga. Mereka saling menatap dan bertaut mengeratkan. Berkaca-kaca. Seperti berusaha saling memahami kesedihan, kegalauan, dan kelelahan yang selainnya. Perlahan dan pasti keduanya melepaskan Kanan dan Kiri. Kemudian saling berdekapan. Bertangisan. Keduanya bercerita dengan isak dan debaran jantung. Keikhlasan dan kelegaan hati membekap keduanya lembut. Seperti tak mau lepas. Seakan tak akan pernah mau melepas lagi. Selamanya.

Kanan dan Kiri serempak berguman, “Yah .... Kita di PHK lagi deh!”

Somat

Suara keras itu mengagetkan tidur semuanya. Berebutan lari ke luar huma. Langit memerah. Dua ratus meter dari huma, api berkobar hebat. Melingkupi sesuatu di atas sawah yang baru saja mereka tanami. Mereka berlari lintang pukang mendekati pusat api. Dada Somat berdegup kencang. Entah mengapa, malam ini serasa pernah dialaminya.

Tak lama berlari, di pematang ada seonggok tubuh manusia. Sudah tidak utuh lagi. Semakin mendekat, semakin banyak tubuh manusia. Ada juga yang masih utuh. Seperti pasukan penyelamat terlatih, Somat dan kawan-kawannya segera berpencar. Memeriksa satu demi satu tubuh-tubuh yang tersebar. Dari arah selatan, terlihat Simin dengan beberapa orang kawannya, juga telah datang. Dua kawanan petani penggarap itu tahu persis lekak lekuk sawah Haji Umar yang baru saja mereka tanami. Makanya, tidak ada satupun tubuh manusia yang terlewatkan oleh mereka.

Api masih berkobar hebat, utamanya di patahan tengah. Pesawat naas itu cukup besar. Waktu jatuh, tubuhnya patah tiga bagian. Sementara kedua sayap, tempat tangki bahan bakar, juga patah. Semuanya tersebar di hamparan sawah.

Setengah jam kemudian, Somat sudah tiba di bagian belakang pesawat. Dilihatnya seorang pramugara sedang memapah seorang ibu hamil. Cepat-cepat dibantunya. Setelah membawanya ke pematang, Somat kembali mencari orang yang bisa ditolong. Degupan jantungnya masih sangat kencang. Sembari tangan kekarnya memanggul tubuh demi tubuh, memori otaknya bekerja ekstra keras pula. Dirasakannya kejadian ini bukan pertama kali baginya. Ada penggalan memori tentang guncangan hebat, sawah hijau memerah karena darah, potongan-potongan tubuh, bahkan sayap yang patah dan terbakar. Diingatnya dirinya keluar dari pesawat dengan menangis meraung-raung. Entah karena sakit atau apa. Ketika kenangan itu hendak menjelas, pundaknya ditepuk Simin dari belakang.

“Mat, sampeyan sudah selesai nyisir bagian belakang?” Somat menggeleng. Sedetik kemudian, mereka sibuk kembali. Satu demi satu orang yang selamat ataupun tidak, mereka angkut ke pematang. Tak terasa, hari menjelang subuh. Ratusan tubuh, bernyawa ataupun tidak, sudah mereka evakuasi dari bangkai pesawat. Api sudah hampir padam. Petugas-petugas kesehatan sudah mulai mengangkut korban. Somat masih terus membantu. Mengangkuti korban dari pematang ke samping jalanan, tempat ambulans dan truk dari perusahaan batu bata Haji Hidir parkir menunggu, untuk membawa mereka ke puskesmas.

Tak lama, dari arah timur, suara azan terdengar. Somat menyeka peluhnya. Dilihatnya tangannya yang berlumurah darah dan lumpur. Memori itu kembali lagi. Diingatnya, kala itu tangannya juga penuh lumpur dan darah. Entah darah dari mana. Yang jelas, dia hanya bisa menangis dan menangis. Tak dirasakannya sakit apapun. Hanya bingung. Lalu menangis.

“Mat, shalat dulu”. Somat kembali tersadar. Memori itu hilang lagi.

Setengah enam pagi. Langit mulai terang. Samar-samar bangkai pesawat mulai tampak memutih di tengah hamparan sawah. Korban yang selamat tinggal beberapa orang saja yang belum terangkut. Namun semuanya sudah ada di pinggir jalan. Di pematang, tinggal tubuh-tubuh tak bernyawa. Puluhan jumlahnya. Somat hanya bisa memandang miris. Rasa capek mulai menggelayut. Dipijitnya pelan bahu kanannya. Somat meringis. Memori itu kembali lagi. Diingatnya, kala itu bajunya robek. Dari bahu itu keluar darah. Kental. Tapi bukan rasa sakit yang membuatnya menangis. Tapi sedih yang dalam. Seperti tak ada lagi yang tersisa. Seperti dirinya ditinggalkan semua orang. Memori itu menjelas lagi. Diingatnya pula warna baju dan celana pendeknya. Terus mainan superman dan batman dalam tas jinjingnya. Terus topi pandan yang dibelikan ibu sewaktu di bandara. Ibu? Somat meradang. Matanya sembab. Diingatnya wajah ibunya. Cantik dan ayu. Diingatnya dekapan ibunya tatkala pesawat mulai berguncang keras. Rasa takut menggelayut berat. Somat melemas. Jatuh berlutut di pinggir jalan. Memori itu jelas sekarang. Antara senang dan sedih mengenang ibunya, Somat menangis.

Berhari-hari Somat merenung. Semua memorinya telah jelas. Dua windu lalu, tatkala berusia empat atau lima tahun, pesawat Somat dan ibunya jatuh di sawah dekat bukit. Ibunya tewas, sementara Somat ditolong Mak Lijah. Selama bertahun-tahun Mak Lijah mengasuhnya, menyekolahkannya sampai tamat SMA. Namun apa mau dikata, Somat harus kembali ke sawah, lantaran tidak ada biaya lagi. Dua tahun lalu, Mak Lijah meninggal dunia. Perempuan tua itu memang tidak pernah menikah, membuat Somat mewarisi semua hartanya. Rumah beserta isinya dan sepetak kecil kebun di lereng bukit. Olehnya, Somat merasa cukup bahagia. Namun beberapa hari belakangan ini, Somat mulai berpikir akan egoistisnya Mak Lijah. Kalau memang hanya ibunya yang tewas, bagaimana dengan ayahnya? Jangan-jangan pesawat itu sementara menuju ke kota tempat di mana ayahnya menunggu dia dan ibunya. Rasa sayangnya ke Mak Lijah, turun. Sampai-sampai semua foto-foto Mak Lijah, yang dulunya terkenal sebagai dukun beranak jempolan, disimpannya dalam koper di bawah ranjang. Tak sudi dilihatnya lagi. Rasa benci yang sedari dulu tak pernah ada, mulai muncul di sudut kalbunya.

Siang sudah hampir habis, tatkala bangkai terakhir pesawat naas itu, diangkat ke pinggir jalan. Kemudian diderek naik ke atas truk, lalu dibawa ke kota. Somat juga ada di situ. Haji Umar juga. Oleh perusahaan penerbangan pesawat itu, dia diberi ganti rugi cukup besar. Sangat cukup, sampai-sampai melampaui lima kali hasil panen. Namun orang perusahaan itu berpesan, kalau ada barang penumpang pesawat yang didapat, segera menghubungi dia.

Sesaat setelah truk itu menghilang di tikungan, orang-orang mulai bubar. Sesaat sebelum pergi, ujung mata Somat melihat sesuatu di dekat pematang. Diraihnya pelan. Sebuah tas kecil. Somat melihat sekeliling. Takut ada yang melihat. Tapi orang-orang sudah tidak ada. Merasa aman, Somat berlari ke huma. Dalam huma, dibukanya tas itu. Ada pulpen, buku kecil yang penuh dengan catatan, dua ikat uang, beberapa kartu bank, kartu nama dan foto-foto berukuran kartu. Rasa senang mendekati serakah mulai menyentuh ubun-ubunnya. Apa lagi tatkala sadar kalau uang itu cukup untuknya membuka usaha bengkel motor. Namun hanya sebentar. Mak Lijah memang pengasuh yang sangat baik. Jiwa-jiwa kejujuran tidak pernah lepas dari ajarannya ke Somat. Perlahan dimasukkannya semua barang itu kembali. Barang ini harus kukembalikan ke pemiliknya, tegas Somat dalam hati.

Esoknya, dengan bekal seadanya, Somat berangkat ke kota, setelah semalam Haji Umar memberinya alamat perusahaan penerbangan itu. Dalam tidurnya di perjalanan, Somat bermimpi. Bayangan bangkai pesawat yang membawa dirinya dan ibunya muncul kembali. Tiba-tiba ibunya muncul di antara puing-puing pesawat, kemudian meneriakkan “Cari ayahmu .... cari ayahmu ....”.

Menjelang siang, Somat tiba di depan kantor itu. Ditanyanya pada satpam, untuk bertemu dengan kepala kantor. Namun belum sampai masuk, orang yang dikenalnya sebagai wakil perusahaan, yang memberi Haji Umar uang, muncul dari pintu depan. Somat tersenyum sopan sambil mendekat.

“Maaf pak, saya Somat. Pekerja Haji Umar, saya ...”

“Oh maaf. Saya sudah memberi dia uang cukup banyak. Kalau tidak cukup, itu bukan salah saya”

“Bukan pak, saya bukan mau minta uang. Saya menemukan sesuatu pak”

“Menemukan apa? Perhiasan, uang, tas atau apa? Kalau seandainya kau dapat, akan susah bagi kami untuk mengembalikannya. Pesawat itu datang dari jauh. Mau ke tempat jauh pula. Beruntung kalo si empunya hidup. Kalo mati? Ah, sudahlah. Kalau kau benar menemukan sesuatu, simpan sajalah. Toh orang-orang dari pesawat itu, hampir semuanya meninggal. Yang kau dan teman-temanmu tolong, kebanyakan mati dalam perjalanan ke rumah sakit rujukan”.

Somat terdiam. Tak disangkanya orang itu akan berkata demikian. Somat tertunduk. Satpam jatuh iba melihatnya, disarankannya Somat untuk kembali melihat isi tas itu. Siapa tahu ada kartu nama? Kalau dekat kan bisa diantar? Somat tersenyum. Harapannya kembali membesar. Bersama-sama Satpam, ditelitinya alamat-alamat di kartu-kartu itu. Dua jenak kemudian, Satpam menemukan satu kartu dengan alamat yang ada di kota. Dijelaskannya pada Somat cara untuk sampai ke alamat tersebut. Somat tersenyum mengerti.

Sudah menjelang ashar tatkala Somat tiba di alamat itu. Rumahnya cukup besar dan mentereng. Somat berkali-kali berdecak kagum. Namun sejurus kemudian dia dikagetkan oleh bentakan Satpam. Somat dengan pelan menjelaskan maksudnya. Satpam itu melunak. Pintu gerbang terbuka. Somat masuk lalu dipersilahkan menunggu di teras. Selama menunggu, memori itu muncul lagi. Somat tertunduk. Kalau memang hanya tinggal aku, biarlah. Yang penting, aku masih bisa membantu orang ini, batin Somat.

“Maaf. Anda ingin bertemu saya?”

Di depan Somat berdiri seorang laki-laki, limapuluhan umurnya. Tegap, berkumis rapi. Pakaiannya pun rapi. Sepertinya baru pulang kantor.

“Iya pak. Saya Somat. Beberapa hari lalu di kampung saya, jatuh pesawat. Saya dengan teman-teman ikut menolong. Walau demikian, banyak yang kami tolong itu, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Akhirnya hanya sedikit yang hidup. Trus kemarin, saya menemukan tas ini pak. Saya agak sangsi kalau tas ini punya Bapak. Tapi saya temukan kartu nama Bapak di dalamnya. Olehnya, mungkin Bapak bisa membantu untuk mengembalikan ke pemiliknya. Kalaupun si empunya juga ikut tewas, paling tidak keluarganya bisa menerima tas ini”.

Bapak itu menyernyitkan dahi. Diraih dan dibukanya tas itu. Dilihatnya lekat-lekat foto-foto yang ada. Dia mengangguk tanda mengerti.

“Benar de’. Yang punya tas ini, saya kenal. Dia memang ikut tewas dalam kecelakaan itu. Insya Allah, akan saya sampaikan tas ini pada keluarganya”

“Alhamdulillah. Syukurlah kalau Bapak bisa. Tidak sia-sia saya dari kampung. Akhirnya harapan saya untuk mengembalikan tas ini bisa terwujud. Matursuhun pak. Tapi maaf pak, sekarang sudah hampir ashar, bisa saya numpang shalat dhuhur sebelum pulang?”

Sang Bapak tersenyum. Tanpa suara disilahkannya Somat masuk ke ruang tamu. Somat kembali berdecak kagum. Aroma mewah dan anggun merayap di kulit Somat. Namun Somat sontak, tatkala menatap lukisan raksasa seorang wanita yang tergantung di dinding.

“Ibu ....”. Somat pingsan.

Azan Subuh Ujaz

Gembok pagar rumah bernomor 46 itu sudah dibukanya. Hanya dengan berbekal sebuah kunci roda, parang gemuk dan sebilah golok kecil, Ujaz nekat mencuri sendirian di rumah besar dalam kompleks terkenal itu.

Pada dasarnya, Ujaz bukanlah pencuri. Tatkala pulang bersekolah dari pendidikan tinggi agama Islam di kota Gudeg, didapatinya rumahnya acak-acakan. Ibu dan kedua adiknya tewas dibacok. Ayahnya sendiri sekarat di dapur. Lukanya sangat parah, sampai-sampai Ujaz sempat lemas sesaat. Namun sesaat kemudian, sudah disanggahnya kepala ayahnya di pangkuannya. Walau dengan luka separah itu, sang ayah masih mampu membuka mata lalu berkata lirih, “Ujaz, maafkan ayahmu ini. Ibu dan kedua adik-adikmu tak mampu Ayah selamatkan dari kawanan perampok itu. Mereka terlalu banyak”. Ujaz pun tak mampu berkata-kata lagi. Dia hanya bisa menggangguk. Matanya basah. Tangannya yang penuh darah tak mampu lagi menyeka ingus yang keluar tanpa henti. Perlahan tangan sang ayah bergerak lemah. Ditunjuknya lemari buku di dinding timur ruang tengah. “Al Quran”, desahnya. Ujaz dengan serta merta mengerti keinginan ayahnya. Diraihnya Al Quran yang dimaksudkan ayahnya itu; didekatkan ke tangan ayahnya, namun tangan itu tak mampu lagi menggenggam. Seiring dengan jantung yang tak mampu lagi memompa darah, karena telah tertumpah banyak di lantai dapur. Sang ayah telah berpulang ke hadirat-Nya. Ujaz pun terpana, derai air matanya tak terbendung. Terisak keras-keras. Sepuluh menit lebih, dia seperti itu. Namun terdorong latar belakang ilmu agama yang ditekuninya, Ujaz meraih kedua tangan ayahnya. Mendekapkan di dada, kemudian menutup kedua mata ayahnya yang masih setengah terbuka. Kemudian diraihnya Al Quran itu, dibukanya dan spontan dibacanya Yaasin. Tatkala telah sampai di halaman kedua surah itu, terjatuhlah amplop dari dalam Qur’an. Dengan tangan gemetar namun penuh keingintahuan, diraihnya amplop itu. Dibukanya perlahan. Surat bertinta biru dengan tulisan dan tanda tangan ayahnya. Dengan tetap berbanjir airmata, dibacanya perlahan surat ayahnya itu.

Ujaz, tatkala kau baca surat ini; itu berarti aku sudah mati. Entah di rumah, atau di rumah sakit. Entah dibunuh atau mengerang karena sakit asmaku. Namun sebelum aku benar-benar mati, akan kuceritakan rahasia terdalamku padamu. Ketahuilah Ujaz. Selama duabelas tahun kau bersekolah di Jogja, belajar agama Islam, sampai bergelar Sarjana Agama, engkau kubiayai dengan kunci roda, parang gemuk dan golok kecil. Engkau makan dari hasil mencuriku ke rumah-rumah besar kepunyaan konglomerat-konglomerat; yang rajin menyogok dan ogah membayar pajak. Uang hasil curianku itu memang tidak halal. Namun aku tak punya keahlian lain selain mencuri. Makanya kusekolahkan kau untuk belajar agama Islam, supaya nanti kau tidak akan jadi pencuri seperti ayahmu ini. Tapi, jika tidak terlalu berat bagimu, aku minta kau simpan ketiga benda itu baik-baik. Pula, kau harus ketahui, jika suasana dan keadaan tidak lagi bersahabat; pergunakanlah ketiga benda tersebut. Kuingatkan pula, kalau sekarang ini, sudah banyak orang yang tahu kalau aku ini pencuri. Jadi, engkaupun menjadi anak pencuri, mau atau tidak. Namun dari semua itu, utamanya aku minta engkau berjanji untuk selalu berkata dan berbuat jujur. Dalam masalah apapun”. Ditutupnya kembali surat itu perlahan. Kekagetannya akan kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pencuri, masih mengguncangnya. Namun dalam hatinya tertoreh janji seperti yang dimintakan ayahnya. Ya, dia telah berjanji pada dirinya sendiri.

Sepeninggal ayah, ibu dan kedua adiknya, Ujaz berusaha hidup di rumahnya dengan sisa-sisa peninggalan perampok itu. Namun ternyata, tak sampai dua bulan, biaya hidup semakin lama semakin tidak mencukupi. Satu persatu barang-barang peninggalan orang tuanya dijualnya untuk menyambung hidup. Terdesak begitu, akhirnya Ujaz mulai mencari kerja. Mulailah dia bergerak dari pintu perusahaan satu ke pintu perusahaan yang lain, menjajakan keahliannya dalam bidang agama. Namun setelah sekian lama, dirasakannya kalau semua perusahaan pasti tidak mau menerimanya. Oleh janjinya pada ayahnya untuk berkata dan berbuat jujur, membuatnya tak diterima bekerja di lingkungan perusahaan. Siapa sih yang mau mempekerjakan anak pencuri? Kan buah mangga tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya?

Memasuki bulan ke sepuluh setelah peristiwa perampokan itu, Ujaz sudah mulai berputus asa. Telah lelah badan dan pikirannya untuk mencari pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya. Diingatnya kembali pesan-pesan ayahnya. Lama Ujaz tepekur. Walau tidak sejalan dengan kata hatinya, tuntutan hidup membuatnya berketetapan hati untuk mencoba peruntungan hidup seperti yang dijalani ayahnya.

Demikianlah, akhirnya Ujaz tiba di depan rumah mewah bernomor 46 tadi. Merusak gembok pagar dan telah berada dalam rumah. Pemilik rumah ini benar-benar kaya, pikirnya. Bayangkan saja, di garasinya yang sangat besar terparkir delapan sedan dan MPV mewah. Sementara di dalam rumah, segala kemewahan pun terlihat. Dari ubin marmer sampai ke home theatre. Semuanya memang layak untuk dijadikan target utama pencurian pertamanya.

Tatkala sedang menginventaris apa yang harus dibawanya pulang, matanya tanpa sengaja melihat foto keluarga yang terpampang di dinding. Seorang ayah, ibu dan tiga anak; seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Persis sama dengan keluarganya. Tak terasa butiran air matanya bergulir jatuh. Diingatnya kembali, betapa kebahagian memayungi keluarganya. Menyeluruh. Masuk ke semua celah-celah kehidupan yang ada. Ujaz tertunduk. Ya Allah, apakah salahku sampai harus berbuat seperti ini. Apakah harus kutanggung salah ayahku karena mencuri? Dia memang hanya tahu mencuri; dan akupun bisa sekolah tinggi gara-gara pekerjaan hina ini. Oh Rabbiku, tuntunlah aku. Seperti tak kuat aku menerima cobaan-Mu. Dia kembali tertunduk terisak.

Teng ... teng ... teng ... teng ... teng. Lima kali jam besar itu berdentang. Menyadarkan Ujaz. Ditatapnya jam besar itu lamat-lamat. Subuh, desisnya. Layak kerbau dicekok hidungnya, Ujaz bergegas mencari kamar mandi. Didapatinya pancuran kecil di sebelah kanan ruang keluarga. Diambilnya air wudhu. Usai itu, dicarinya ruangan yang paling bersih. Tepat di sebelah dinding pancuran, ada ruangan cukup besar. Mushalla. Dibersihkannya pakaiannya. Ditanggalkannya balaclava hitamnya. Dihamparnya sajadah. Ditegakkannya dan dihadapkannya tubuhnya ke kiblat. Tangannya terangkat di samping telinga.

“Allahu Akbar ........ Allahu Akbar”

Dan Ujaz pun azan subuh itu. Menyadarkan kita dari tidur nyenyak dan kemunafikan yang menyesatkan.

Janji

Entah telah berapa lama Bandi menunggu. Dilirik arlojinya. Masih setengah jam. Masih cukup waktu untuk Double Cheese Burger-nya McDonald, semangkuk sup jagung dan sebotol air mineral. Hmm, walau telah sewindu South Carolina ditinggalkannya, kebiasaan makan junk food masih mendominasi hari-hari sibuknya. Terlebih tatkala puncak-puncak stresnya menghentak-hentak lantai dan plafon kesadarannya. Seperti sekarang, tatkala Amy akan datang berkunjung. Coklat rambut dan retinanya selalu membuatnya tegang. Bau harum tubuhnya apalagi. Bandi menghayal, lagi.

Semua pesanannya sudah habis terlahap. Sudah lewat setengah jam pula. Mana lagi pesawatnya sudah offload. Semua penumpang sudah turun. Semua koper dan bawaan di bagasi sudah diambil pemiliknya. Tapi tak ada coklat rambut dan retina Amy yang menggetarkan jantung Bandi. Tak ada bau harum tubuhnya. Hanya ada bau keringat portir-portir yang kelelahan. Bandi tersadar. Amy tidak datang. Bagaimana mungkin? Dia kan sudah janji akan datang! Mana mungkin dia lupa memberitahuku? Dia kan mantan pacarku! Mantan? Jangan-jangan ....

Sebenarnya Bandi sadar, kalau janji Amy akan datang berkunjung ke Indonesia, hanyalah isapan jempol. Dia pun tahu kalau Amy pada dasarnya mau jalan dan diperkenalkan sebagai pacarnya, hanya karena keenceran otak Bandi melahap hampir semua soal-soal kimia dan biologi. Tapi dasar Bandi, sangat percaya pada omongan bule brunnette asal Oklahoma itu. Walau sewindu dan telah bergelar MD dari USC, kepercayaan itu masih saja menempati ruang terbaik dalam bagian otak ingatnya. Sampai-sampai sedemikian banyaknya perempuan Indonesia yang kebetulan juga sementara belajar di Amerika Serikat kala itu, kecewa karenanya. Utamanya Dina, yang pada waktu hampir bersamaan juga sementara menunggu kedatangan Bandi di Newark. Seperti juga Bandi yang tergila-gila akan coklat rambut dan retina serta bau tubuh Amy; Dina juga masih terpesona akan segala tutur jelas Bandi tatkala menerangkan hubungan eksponensial susunan struktur kimia dari sebuah enzim yang dapat mengganggu metabolisme tubuh di kelas biokimia USC, walau sudah sewindu berlalu. Namun sejak pagi sampai malam, satu persatu pesawat yang berkoneksi dengan Asia Tenggara, utamanya Indonesia, tidak membawa Bandi. Dina tepekur. Diingatnya janji Bandi, untuk datang pada hari yang sama, delapan tahun ke depan. Bandi .... Bandi ...... mengapa kau berdusta? batin Dina mengawang plafon ruang tunggu bandara. Dia mendesah panjang, persis seperti desahan Bandi tatkala berjalan meninggalkan ruang tunggu kedatangan di Cengkareng. Sedemikian anehnya, Sang Maha Kuasa, merencanakan kehidupan hamba-Nya.

*****

Ahad pagi itu, Bandi bergegas ke rumah orang tuanya. Masih sepi. Bandi langsung naik ke lantai 2, ke kamarnya. Kamar itu sudah sedemikian lama tidak ditinggali, sejak kepulangannya dari South Carolina. Perlahan ditariknya album foto berdebu dari dalam lemari buku. Dibukanya perlahan-lahan. Satu demi satu foto berukuran jumbo ditatapnya. Peristiwa demi peristiwa melintasi benaknya. Namun yang membekas keras hanya Amy. Rambutnya, retinanya, baunya. Semua seperti baru terjadi kemarin. Namun Bandi kembali sadar, sewindu bukanlah waktu yang sebentar. Dia tidak boleh hanya larut dengan cerita masa lalu itu. Mana lagi, cinta dan rasa sayang itu hanya datang dari mata dan hatinya; bukan dan tidak pernah datang dari mata dan hati Amy. Adalah sebuah kebodohan semata-mata jika dia masih mengharapkan Amy memenuhi janjinya. Benar-benar sebuah kebodohan semata-mata. Bandi kembali mendesah. Saat yang sama, empat hari menjelang tahun baru, di salah satu sudut East Manhattan, dengan siluet Brooklyn Bridge senja hari, Dina juga tengah membatin. Berusaha menghilangkan asa akan Bandi. Laki-laki yang selalu membuatnya menganga, mendengar keluh kesahnya akan segala tetek bengek premedical class bahkan membelikannya nasi goreng cina berlabel halal usai pertemuan PPI Amerika yang sangat membosankan.

*****

Bandi baru saja menyuntik anti tetanus seorang bapak yang harus kehilangan empat jarinya karena berusaha meraih anaknya yang hanyut dibawa air laut yang menderas tiba-tiba, sesaat setelah gempa menggoyang pusat kota Banda Aceh. Bandi berdiri tepekur memandang bapak itu keluar tenda. Walau sudah lebih sepuluh hari, masih saja terdengar ada mayat yang ditemukan mengapung di Krueng Aceh, membusuk di antara reruntuhan bangunan bahkan menggembung di ladang-ladang yang cukup tinggi letaknya. Atau paling tidak, seperti bapak tadi. Ya Allah, betapa berdosanya aku pada-Mu; yang tidak pernah mensyukuri nikmat-Mu, batin Bandi.

Sekonyong-konyong, masuk seorang relawan.

“Apa dokter masih kekurangan desinfektan? Atau bahan-bahan medis lainnya? Ada tim medis independen yang baru saja tiba. Mereka membawa banyak perbekalan. Saya diminta untuk menginventarisir apa-apa yang diperlukan di tenda-tenda medis di sepanjang kamp”.

“Dari mana?”

“Kata orang-orang, dari Amerika. Tapi ada orang Indonesianya. Dokter lagi. Kok bisa ya?”

Bandi mematung. Memang banyak orang Indonesia yang kerja sebagai perawat di States, tapi dokter? Kalaupun ada, dia pasti mengenalnya. Ah, biarlah. Semua tim medis yang datang pastilah berkonsentrasi untuk menjalankan tugasnya, bukan untuk bernostalgia gembira ria, atau dengan alasan apapun. Bandi tersenyum menggeleng.

“Persediaan kami masih banyak. Coba tanyakan ke tenda yang lain saja, ya?”

*****

Hari ke 59. Semua orang sudah lelah. Tenda-tenda mulai kehilangan pekerja-pekerjanya. Tim-tim dari luar negeri juga sudah banyak yang pulang. Dua bulan pasca tsunami, sudah cukup memberi ketidaknyamanan bagi orang-orang yang tidak berniat tulus. Tapi Bandi masih di tendanya, walau kehilangan hampir seluruh perawatnya.

Senja itu, Bandi baru saja akan menyalakan lampu, kala seorang relawan datang memberinya undangan. Semacam kenduri, untuk seluruh tim relawan yang telah bekerja tanpa henti. Dalam hati, Bandi sempat menolak. Namun jenuh dan lelah, lebih menguasai fisiknya.

Ruang pertemuan itu masih lengang, walau sudah pukul 2030 WIB. Bandi dan beberapa relawan masih asyik bercengkerama di dekat tangga, kala satu rombongan baru tiba. Seperti sedari tadi, setiap tim yang baru masuk akan ditepuk tangani sebagai penghormatan akan dedikasinya. Rombongan yang terakhir masuk sepertinya dari luar Indonesia, karena hampir seluruh anggotanya, bule. Bandi sempat menoleh sejenak.

“Dok, itu lho yang dulu saya cerita. Orang Indonesia yang jadi dokter di Amerika”

Bandi kembali menoleh, kali ini dengan seluruh badan. Dipandanginya sosok itu. Keningnya berkerut. Bandi berdiri, berjalan perlahan menuju perempuan yang ditunjuk Nadir tadi. Sembari berjalan, kenangan melintas pelan.

“Dina”

Yang dipanggil berbalik, tersenyum. Kecut.

“Bandi. Dokter Bandi”

Bandi membalas dengan senyum. “Aku tidak tahu, kalau kau yang ...”

“Ah, tak mengapa. Kita semua sibuk kan? Mana ada yang peduli dengan kenangan masa lampau, tatkala begitu banyak kerja yang menunggu. Orang-orang ini lebih membutuhkan kita untuk membantu mereka”

Bandi kembali tersenyum.

“Sebenarnya, aku sudah sejak lama tahu akan kau dan timmu. Tapi sepertinya kau begitu sibuk, sampai tidak tahu kalau kadang kita makan di satu ruangan. Ah, Bandi. Kau tidak berubah, masih selalu fokus dengan kerjaan. Sampai lupa akan sekelilingmu. As always, ignorant in any ways

Suasana malam yang dingin, seakan siang yang panas. Kerut di kening Bandi belum juga hilang, namun senyumnya tetap mengembang.

“Maafkan, maafkan kalau aku tidak memperhatikan sekelilingku. Semua ini butuh konsentrasi yang tinggi dan terpusat. I can’t jeopardize anything for this; it’s all my dedication to mankind. I think you know that”.

“Bandi, kau benar-benar tidak berubah. Lihat dirimu sekarang. Dulu kau juga tidak memperhatikan sekelilingmu, lingkunganmu. Teman-temanmu, Ted, John, Willie bahkan aku. Ah Bandi, kapan kau mau berubah?”

Mata Dina mulai memerah menahan tangis. Naluri keperempuanannya bicara. Bandi tertunduk. Terbayang kelompok belajar yang dipimpinnya dulu, ada Ted, John, Willie, Dina dan dirinya sendiri. Mereka memang begitu kompak, namun Bandi tahu kalau dia hanya mengganggap kelompoknya sebagai kelompok belajar, bukan sebagai buddies. Walau demikian, diakuinya getar asmara memang pernah ada di antara Dina dan dirinya. Namun Bandi adalah Bandi, yang tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu, terkecuali study, study and study. Lived alone on his solitude world. Always alone.

“Aku pernah mau berubah, Din. Kau kenal Amy kan? Dia pernah berjanji akan datang dan .......”

“Dan dia tidak datang kan? Bandi, Bandi ...... Kau kan tahu dia! She’s not our league. She’s way up!”

Bandi semakin tertunduk. Baru kali ini ada orang yang berbicara benar tentang Amy; hal yang benar adanya, namun selalu ditepisnya. Matanya ikut memerah.

“Kau bahkan lupa janjimu padaku Ban”

Tekanan batinnya memuncak. Dina akhirnya berlari ke luar ruangan, meninggalkan Bandi terpaku sendirian.

Astagfirullah ........, batin Bandi. Dirasakannya dadanya memberat. Janji itu memang tak ditepatinya. Janjinya kepada Dina untuk tidak tertipu akan kepalsuan Amy, sesaat sebelum berangkat pulang ke tanah air. Janjinya untuk datang dan merubah dirinya sendirinya. Janjinya untuk mencintainya. Mencintai Dina. Memang kau tidak datang di Newark untuk mengantarku pulang, Dina. Menelpon pun tidak. Memang ada Amy yang mengantarku, walau aku tahu dia hanya lips service saja. Memang ..... memang .... ah Dina, kenapa aku begitu buta, batin Bandi. Ditatapnya Dina yang berlari menuju tendanya. Aku harus menepati janjiku, tegas Bandi sambil berlari menyusul.

Bandara Newark, 29 Desember 2010. Salju turun tidak terlalu lebat. Pesawat GIA baru saja mendarat, straight flight from Jakarta.

“Ayah, Ibu yang jemput kita kan?”

“Iya, Ina rindu ya? Kalau Taufiq?”

Keduanya mengangguk pasti sambil tersenyum girang.

Mereka sampai di ujung terowongan. Terlihat Dina melambai di depan.

“Ban ......”