“Maaan. Diaper Ani perlu diganti tuh!”
Firman berhenti mengetik. Diarahkannya pandangannya ke kamar sebelah. Ani mulai merengek-rengek. Menangis, minta diapernya diganti.
“Maaan. Gan …”
“Iya, dengar….”
Sekali lagi diliriknya laptopnya. Paper ini harus selesai sebentar, harus, batin Firman sambil bergegas mencari diaper baru di rak sebelah ranjang. Tidak sampai lima menit, tangisan Ani reda. Diaper baru. Diletakkannya Ani kembali ke boksnya. Ani tertawa, seakan mengajak ayahnya main. Namun Firman hanya bisa senyum kecut. Tak mampu menjawab panggilan Ani. Maklumlah, waktu yang semakin sempit dan terbatas, mengharuskan Firman untuk bekerja seperti gasing yang tidak pernah berhenti berputar. Tahun terakhir beasiswanya. Jika tidak bisa menerbitkan paper terakhir ini, maka dia harus mengajukan perpanjangan ke Sensei. Itupun belum tentu disetujui. Mana lagi, demikian banyak kebutuhan hidup keluarga yang harus dipenuhinya. Diaper dan susu Ani, tuitition fee Dea, logistik sehari-hari. Semuanya, semuanya harus bergantung ke Firman. Beasiswa monbukagakusho jelas tidak bisa menutupi semua itu. Untuk itu dia harus baito dimana-mana. Loper koran-lah, di pabrik roti-lah, di Yamamoto-lah ….. Semuanya. Sementara Dea, jelas-jelas tidak mau kerja. Buat apa kerja? Kan ada beasiswamu? Kamu kerja lagi. Itu pasti cukup. Kan memang sudah menjadi tugasmu sebagai kepala keluarga? Aku kan juga kuliah? Banyak tugas dari Sensei. Mau ujian. Selalu begitu jawabannya tatkala Firman memintanya untuk ikut membantu mencari uang. Namun entah mengapa, Firman sekalipun tak pernah mampu menjawab balik pertanyaan-pertanyaan Dea itu. Tak pernah sekalipun.
Terdengar azan isya dari laptopnya. Firman menghela nafas panjang. Selain shalat isya, azan itu juga mengingatkannya untuk segera ke Sun Square, menunggu jemputan baito di Yamamoto. Ditatapnya sekali lagi Ani yang mulai asyik sendiri dengan mainannya. Aku harus bisa. Harus bisa hidup dengan ini semua, desis Firman menyemangati dirinya sendiri.
***
“Fir, jangan gitu dong. Kamu kan laki-laki. Walau pun memang tugas suami yang mencari nafkah, paling tidak Dea kan bisa ikut bantu-bantu urus rumah. Masa’ sih ganti diaper juga kamu?”
Firman tertunduk. Rentetan kata-kata pedis Irfan seperti sembilu. Menyayat telinganya. Ditatapnya kawan seangkatan dan selabnya di Mechanical Engineering Hirodai lamat-lamat. Seakan meminta persetujuannya akan ketidakmampuannya menyelesaikan masalahnya.
“Bener. Kamu pasti bisa. Harus bisa. Ingat Fir, kita tinggal setahun lho. Masih ada satu paper yang mesti masuk jurnal kan? Belum lagi disertasimu yang mesti bersamaan rampung juga. Harus bisa lho Fir!”
Firman tertunduk. Tak mampu ditatapnya lagi mata sahabatnya itu. Semua kata-katanya benar. Landasan kata-kata itu harus bisa membuatnya berani untuk menanyakan kembali ke Dea. Harus!
“Kapan baiknya Fan aku ngomong ke Dea?”
“Sekarang saja. Aji mumpung kamu semangat. Jangan khawatir, aku absenkan bentar kalo pulang jam 7 pagi, kamu shift sampe pagi kan? Nih, pake aja motorku”, senyum Irfan sambil memberi kunci motornya. Firman ikut tersenyum girang. Beban hatinya seakan lenyap. Terganti dengan harapan yang tinggi.
***
Pukul dua subuh. Firman baru saja tiba di apatonya. Pintu rumah dibukanya perlahan. Tidak dikunci. Firman menggeleng. Kebiasaan Dea yang tidak bisa hilang. Entah kenapa? Walaupun semua tahu kalau tidak pernah ada maling di sekitar pusat kota Saijo, namun apa salahnya untuk jaga-jaga?
Pintu kamar tengah masih terbuka. Firman bergegas masuk. Pemanas ruangan berbahan bakar minyak tanah itu ternyata mati. Segera dilihatnya Ani di boks-nya. Di sudut boks kayu itu, Ani tidur merapat. Menggigil. Selimutnya masih tersampir di dinding boks. Dea kurang ajar, gerutu Firman. Walau marah, pelan diselimutinya Ani. Dinyalakannya pemanas. Lepas itu, digosok-gosoknya kaki mungil yang mulai dingin itu. Lalu tangan. Sepuluhan menit kemudian Ani mulai tertidur pulas. Tanpa gigilan lagi. Firman menghela nafas panjang. Pikirannya berpindah ke Dea. Mana dia? Biasanya dia browsing interet di sofa samping tv. Diliriknya laptop Dea, portal E-bay sementara terbuka. Beli apa lagi dia? Dilihatnya nomor kartu kreditnya tertulis di jendela detail pembayaran. Ahh, geleng Firman lemah. Dea tidak pernah bisa mengerti dirinya. Gegar budaya ternyata tidak mampu Dea atasi. Walau telah Firman nasehati. Walau telah ada Ani. Dea tetap tidak mampu beranjak dari dunia mimpinya. Fiman menghela nafas panjangnya. Seakan mengadu pada semuanya akan ketidakmampuannya menyadarkan Dea. Ahh ….
Tapi mana dia. Atau sudah tidur? Pelan dibukanya pintu kamar tidur. Matanya nanar. Di atas ranjang, ada dua tubuh. Dea dan laki-laki yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Berdekapan. Tidur. Nafas mereka teratur. Pulas. Semenit, dua menit, sepuluh, Firman masih mematung menatap mereka. Air matanya menganak. Dirasakannya dirinya mulai melemah. Seluruh tubuhnya dirasakan seperti tertusuk ribuan jarum. Namun entah mengapa, sesuatu dalam dirinya seakan berontak. Seakan bergejolak kuat. Membuatnya mendidih. Pikiran pendeknya mulai beraksi. Dilihatnya gunting di atas meja laptopnya masih ada. Diraihnya kemudian ditimangnya perlahan. Dikuatkannya pegangannya. Pelan didekatinya ranjang tempat dua orang itu pulas tertidur. Tiba-tiba, Firman berhenti. Bayangan-bayangan masa-masa indahnya dan Dea melintas terang. Diingatnya, ranjang inilah yang mengantar kedatangan Ani di rahim Dea. Diingatnya, ranjang ini pula sedemikian kecilnya Ani tertidur nyenyak ditepuk-tepuk mereka berdua. Diingatnya, ranjang ini penuh dengan canda tawa ria mereka bertiga tatkala pertama kalinya mereka melihat salju turun lebat di Saijo. Diingatnya ……
Firman kembali lemas. Tangan kekarnya yang menggenggam kuat gunting, perlahan turun. Dia tertunduk. Air mata yang tadi berhenti mengalir kembali menganak. Haruskah aku jadi pembunuh? Bagaimana dengan Ani? Ditatapnya putri kecilnya yang masih tertidur pulas di boks-nya. Wajah mungil itu tersenyum dalam tidurnya, seakan sedang mimpi yang indah. Firman pun ikut tersenyum.
***
“RRRiiiiiiiiiingggggg. RRRiiiiiiiiiingggggg. RRRiiiiiiiiiingggggg”
Weker keras berdering membangunkan Dea. Jam tujuh. Dea menggeliat. Ditatapnya wajah Ikeda disampingnya. Masih pulas. Kepayahan. Dea tersenyum genit. Digeliatkannya tubuhnya, beringsut ke pinggir ranjang. Secarik kertas melayang jatuh dari bibir ranjang. Bergegas diraihnya. Dea mengernyit. Tulisan tangan Firman, gerutunya. Ingin dibuangnya, namun entah mengapa matanya tetap tertuju ke kertas itu. Dibacanya.
“Dea. Maafkan aku karena tidak mampu membahagiakanmu. Aku pindah. Semua barang-barangku aku bawa. Ani juga. Semoga kau bisa menemukan kebahagianmu, mimpimu. Firman”
Dea mematung. Hening. Dingin. Yuki di luar mulai deras, sederas air mata Dea.
Hou Shaku Apato 203, 3 Februari 2008, 08.01.
1 comment:
Hmmmhh... beautiful writing, but felt so sad, so tragic... hoping it won't happen, to anybody, here in Saijou....ever and never.
Post a Comment