Kucoba memainkan ujung-ujung rambutmu yang tebal dan terjalin rapi. Kucium, mhmhmhm … harum. Teringat betapa seringnya kumain-maini rambutmu di dalam kelas. Betapapun hebatnya tarik-tarikanku, rambutmu tetap tebal. Tidak melar. Apalagi putus.
Beringsut aku mendekatkan wajahku ke wajahmu. Mencoba kembali mencium pipimu. Hati-hati sekali, seperti takut membangunkanmu. Mhmhm ….. lembut pipimu terasa. Terbayang betapa hebohnya orang-orang di keluargamu tatkala aku mencium pipimu di bandara Soekarna Hatta waktu itu. Walau semua orang tahu kalau aku pasti akan melamarmu, kita akan menikah, namun kebiasaan ketimuran yang ada dan berakar, membuatnya tampak sebagai tindakan menjijikkan. Kuingat, mukamu memerah tatkala ayahmu tiba-tiba batuk terus menerus. Kita cuma terbahak kecil mendengarnya.
Matamu memang indah Dina. Terhias dengan alis hitam pekat, penuh. Paduan yang sangat serasi. Apalagi dengan bola matamu yang putih dan hitam. Sangat kontras. Kuingat betapa aku mulai senang melihatmu karena mata itu. Mata yang menatapku tajam tatkala mempertanyakan mengapa perempuan harus berada di belakang laki-laki dalam segala hal. Aku benar-benar tak berkutik kala itu. Terpesona. Atau tatkala panas menghentak Saijo. Kau tiba-tiba minta menghentikan mobil di samping vending machine, membeli sekaleng pespi zero dingin, lalu menempelkan dinding dingin kaleng itu di kelopak matamu. Wajahmu yang tadinya resah gelisah, berubah drastis dramatis menjadi senang luar biasa. Senyum menghias.
Kuraba pelan bibirmu. Lembut. Merah muda indah menghiasi wajahmu. Kuingat, dari bibir itu sering keluar kata-kata yang tajam. Menghentakkanku. Menyadarkanku akan egoisme semu kelelakianku. Kadang pula mempertajam rasa sayangku padamu, dengan kata-kata lembutmu yang menenangkanku setelah dimarahi Sensei. Mmhm, teringat juga betapa bibirmu itu selalu menjadi penghantar peraduan kita di malam hari, atau subuh hari, atau kapan saja. Kapan saja aku inginkan ataupun engkau inginkan. Paling sering tatkala aku akan berangkat ke kampus. Bibirmu itu pasti kukecup. Kuambil sebagai penghantar perjalananku sampai di lab. Begitupun tatkala tiba. Walaupun engkau terlalu lelah selepas kerja seharian di pabrik, walaupun sementara makan, walau apapun; engkau tidak akan memperbolehkanku melakukan apapun, selain menyentuhkan bibirmu dengan bibirku dulu. Mhmhmh, Dina. Tak terasa, kudekatkan bibirku ke bibirmu. Kukecup pelan. Terasa lembut. Hidungku pun ikut menyentuh hidungmu. Hidung yang sangat hebat memainkan akrobat mengeraskan cuping. Aku tergelak kecil mengenang, tatkala engkau selalu bisa dengan gampangnya membuat keras dua bagian hidungmu itu. Atau menggodaku yang marah karena polisi nihon-jin menghentikan mobilku tanpa sebab, sementara aku sudah terlambat memenuhi janji dengan Sensei, atraksi kembang kempismu itu pasti akan membuatku tertawa. Paling tidak tersenyum dan akhirnya melupakan kejadian-kejadian yang membuatku marah tadi.
Selepas bibirmu, kukecup dagumu. Asyik. Penuh daging dan menggemaskan. Bagian dari wajahmu yang paling sering kugigit mesra, dan engkaupun menyukainya. Kuingat beberapa kali, kita sempat bertanding membentuk pola gigi di dagu yang selainnya. Untuk hal ini, aku paling sering menang. Bukan karena gigi-gigiku yang tajam, namun karena daging empuk di dagumu itu. Kenyal. Begtu juga terus ke bawah. Ke lehermu yang berlipat-lipat. Tidak jenjang, namun gemuk. Mhmhm, kuingat terasa sangat lembut tatkala kucium lembut lipatan-lipatan itu. Tatkala engkau berkeringat kuat karena mencoba memasakkanku gulai kambing kesukaanku di dapur panas apato kita di cuaca gerah Saijo. Keringat itu bak parfum yang selalu menggodaku. Engkaupun selalu tergelitik karenanya, lalu kemudian pasti berakhir dengan nafas menderu kita di futon. Mhmhm …..
Dahi itu …..
Suara derik pintu membuka menghentikan lamunanku. Fuji-san masuk.
“Sumimasen, Deni-san. Kyuukyuusha wa mou kuukou ni mukau junbi ga dekimashita. Sorosoro ikimasenka?”
(Mohon maaf, Deni. Mobil jenazah sudah siap berangkat ke bandara. Bisa kita berangkat sekarang?)
Aku mengangguk. Fuji-san pun mengangguk, lalu keluar.
Kupandang kembali wajahmu. Tenang. Seperti tidur. Rambut, mata, hidung, bibir dan dagumu memperlihatkan ketenangan itu. Memperlihatkan kesempurnaan wajahmu. Ahhh …. Walau kutahu, sebentar lagi petugas byooin akan datang, menempatkanmu dalam peti yang terpaku rapat, yang akan menghalangiku untuk dapat memandang wajahmu lagi. Aku tersenyum getir. Kupandang lagi. Mataku tertuju ke dahimu. Belum kuceritakan padamu tentang dahimu itu. Ahhh, Dina. Tak ada waktu lagi. Kukecup dahimu. Lama.
Saijo, Februari 3rd 2008, 02.00AM
6 comments:
Ceritanya baguus...
Ga nyangka kalau akhir ceritanya bisa begitu... (^_^)
so..sad
satu yg aku minta...
kelak kami (n husband) dipanggil-Nya bersama
Gubrakkk!!!! Kenapa jadi begitu di ujung nya....
ko.. sad ending?
tapi bagus ko.. beneran...
Gak nyangka banget crita di ujungnya tiba-tiba seperti itu. Padahal awalnya membayangkan yang indah-indah, hehehe.
Tapi baik juga, sebagai pengingat kita bahwa semuanya adalah titipan dari - Nya.
Sugoi, jempol 10 gak cukup deh buat yang ngarang.
Ceritanya bagus..saya justru suka endingnya. Mgk diawal cerita aja (bag.1) dipercantik lg sedikit bahasanya...main2ni...dst
Post a Comment